Ervita Damayanti, ibu dari Alif (2 tahun)
Jalan Pintas
Ada dua pilihan untuk melakukan persalinan, normal atau caesar. Saat ini melahirkan dengan cara normal lebih banyak diminati. Alasannya, biaya lebih murah, pemulihan pasca persalinan lebih cepat, dan lebih terasa jadi “ibu”-nya, karena merasakan sakitnya kontraksi…..Hal inilah yg paling sering aku temui, pandangan negatif yg seolah-olah menuduh aku mengambil jalan pintas untuk menjadi Ibu, karena aku melahirkan Alif lewat operasi caesar…..Dibalik semua alasan itu, apakah mereka yang melahirkan secara normal merasa lebih “pantas” menyandang predikat sebagai Ibu?  Minggu terakhir kehamilan, DSOG-ku menyatakan aku harus menjalani operasi untuk “bertemu” buah hatiku. Alasannya karena posisi anakku sungsang, bayi tidak bisa berputar ke jalan lahir karena lehernya terlilit tali pusar. Kami sebagai orang tua baru, panik mendengar hal itu……Terbayang jeratan tali pusar di lehernya yg membuat gerakan bayi kami jadi terbatas…..pasti dia gak nyaman……akhirnya kami menuruti anjuran dokter demi keselamatan ibu dan bayi…..Rasa takut langsung melanda….duuuuh “operasi” gitu looh……
Meleset dari waktu yg disepakati, ternyata anakku dah buru-buru ingin melihat dunia….jadwal yg tadinya tgl 17 Februari maju karena aku mengalami pecah ketuban tanggal 9 Februari……
Ternyata, Tuhan memberikan kesempatan bagiku untuk “merasakan menjadi ibu”…..aku merasakan kontraksi dari jam 2 pagi sampai waktu operasi jam 8 pagi tiba…..Tetapi sekali lagi, Tuhan menunjukkan kuasanya sebagai penguasa rencana…….Manusia boleh punya jadwal operasi, Tuhan juga yang menentukan…..Jadwal operasiku yg jam 08.00 pagi, harus diundur karena ada seorang ibu yang akan melahirkan, namun detak jantung sang bayi mengkhawatirkan. Sehingga DSOG-ku minta ijin untuk menangani ibu tersebut lebih dulu. Duuuh…si Dokter, gak tau kali ya….dah jungkir balik gini nahan sakitnya. Tapi, mungkin inilah rencana Tuhan supaya aku bisa merasakan nikmatnya kontraksi lebih lama…..Jam 10.30, tiba waktunya aku masuk ruang operasi……saat itu aku merasa Tuhan sangat sayang sama aku…sama sekali gak diberikan rasa takut sedikitpun ……yg aku pikirkan saat itu hanyalah bayiku dan rasa sakit dari kontraksi yg aku alami. Aku berdoa semoga semua ini cepat selesai.
Operasi berjalan dengan lancar dan cepat, cuma 17 menit, anakku dah keluar……lahir dengan selamat tanpa kurang suatu apapun…..Akhirnya setelah sembilan bulan penantian, kami berdua dapat bertatap muka untuk pertama kalinya……..Tanda kebesaranNya…anugrah terbesar dariNya untukku…hadiah ulang tahun terbaik yg pernah diterima suamiku (Alif lahir tanggal 10 feb, suamiku ultah tgl 13 feb)…..Hanya syukur alhamdulillah yg dapat kami panjatkan atas kebahagiaan yang kami terima saat itu…… Saat ini, masih sering kudengar omongan negatif tentang operasi caesar, yang bilang “Mau jadi Ibu, kok, gak mau sakit”……Well…..semua itu hak mereka untuk menilai “perjuangan” seorang wanita untuk menjadi Ibu…tapi bila aku mengenang kembali detik-detik “perjuanganku”, pertama kali menatap mata malaikat kecilku, binar bahagia suamiku saat mengumandangkan azan pertama untuk bayi kami, rasanya bisa kutepis rasa “rendah diri” akibat omongan negatif mereka…..Tapi….apakah benar “perjuanganku” berkurang hanya karena melahirkan lewat operasi caesar?
Witaradyasari (31 tahun), ibu dari Hanifa Putri (2 tahun 6 bulan) dan Imam Fakhri (3 bulan)
Kebetulan sebulan setelah menikah saya langsung dinyatakan hamil… Pertama lihat hasil test pack positif saya agak kaget, gak nyangka secepat itu, tapi berhubung belum pengalaman, pas belanja pun saya tetap angkat yg berat-berat, tetap pake sepatu hak tinggi.. walhasil besok paginya ada flek darah… lagi-lagi dengan begonya saya hanya mengira, “oohh berarti saya gak jadi hamil kali ya??” Sedih banget, namun setelah 2 hari berturut-turut pendarahan, saya disarankan teman untuk periksa ke dokter. Akhirnya saya segera menemui dokter yang praktek di RSB terdekat. Dokternya cuek banget, dia sama sekali gak nyuruh istirahat bahkan tidak memantang untuk “berhubungan”.
Ternyata besoknya tetap terjadi pendarahan. Karena kecewa dengan dokter pertama, saya disarankan untk menelpon dokter kandungan yang masih kenalan orang tua saya. Saya disarankan untuk langsung periksa di RSB tempat dia praktek. Langsung aja saya diberi suntikan penguat dan bed rest selama 1 minggu, alhamdulillah kandungan saya dapat dipertahankan…
Semua berjalan mulus sejak itu, selama kehamilan sama sekali tidak merasakan mual dan muntah-muntah… hamil kebo ceritanya… menjelang due date, malam tahun baru 2004 keluar flek tapi tanpa diikuti dengan kontraksi. Tanggal 1 Januari 2004 pagi-pagi saya periksa ke RSB ternyata baru bukaan 1, saya disuruh pulang dan banyak jalan tetapi tidak kontraksi juga. Sorenya saat jalan-jalan, baru terasa kontraksinya.. awal-awal 10 menit sekali, 7 menit sekali, jadi kami memutuskan untuk balik ke RSB. Tapi karena belum makan malam saya memaksa untuk makan dulu di depan RSB sebelum memeriksakan kandungan saya (nekat ya??). Eh, mertuaku menelpon, katanya udah nyampe di RSB dan dia kaget banget kok yg mau melahirkan masih cuek aja makan malam, sop kaki kambing pula… hahahahaaa…
Sehabis makan barulah kami ke RSB tapi ternyata baru bukaan 3, walaupun setiap kontraksi udah sakiiittt banget…. 2 jam berlalu masih bukaan 5. Di sebelahku ada pasien yang ditangani dokter yang sama denganku, tapi akhirnya melahirkan duluan. Mungkin biar dokternya gak bolak balik ke RS dia menyarankan saya untuk di induksi. waduh… tambah sakit… Saya pegangan terus sama suami, diapun sampe gak tega melihat saya kesakitan begitu. Setelah bukaan 10 saya disuruh mengejan… lupa semua ajaran sewaktu senam hamil… tapi sampe saya kecapean dan disuruh istirahat bayinya gak juga keluar. Rasa sakitnya udah ampun-ampun deh… Akhirnya pukul 00.30 lahirlah putri pertama kami… ternyata bayiku terlilit tali pusar, pantas susah bener… Kami namakan Hanifa Putri Prayogo, lahir dengan panjang 50cm dan berat 2.95kg.
Setelah 1,5 tahun ternyata saya hamil lagi. Kebetulan saya dan suami sudah berencana untuk pergi umrah, jadilah dengan membawa janin umur 2 bulan dalam kandungan, saya menjalankan ibadah umrah. Alhamdulillah saya kembali tidak mengalami mual-mual selama kehamilan bahkan saya juga masih bisa naik ke Jabal Rahmah yang tangganya tinggi banget, ya… pelan-pelan sih, tapi seneng deh bisa nyampe kesana… Di Mekah kami memanjatkan doa supaya anak ke 2 kami laki-laki (hehe biar sepasang…) dan menjadi anak yang sholeh, sehat dan cerdas… amien…
Cobaan saat hamil ada aja, yang BS gak balik lagi, suami dan pembantu kena demam berdarah sampe masuk RS duh… tapi ya dinikmati aja deh.
Menjelang due date saya sudah keluar flek, berdasarkan pengalaman pertama saya cuek aja, nanti kalo udah ada rasa kontraksi baru mau ke RSB. Karena belum terasa kontraksi, saya jalan-jalan aja, bahkan sempet harus gendong Putri. Tetapi karena dekat dengan lokasi RSB akhirnya saya mutusin untuk periksa aja deh, kalo disuruh pulang ya udah gak papa… Ternyata pas periksa dalam udah bukaan 3 jadi gak boleh pulang lagi. Putri dijemput oleh adik saya, sedangkan suami langsung nungguin di RSB.
Herannya saya sama sekali tidak merasa sakit sewaktu kontraksi, dateng jam 8 malam akhirnya disuruh tidur aja. Saya terbangun jam 12 malam gara-gara ada pasien yang baru masuk tau-tau udah bukaan 8…. waduh, keduluan lagi nih, kaya kasus melahirkan pertama… Ternyata dokter yang menangani kelahiran pun sama. Sewaktu dokternya datang untuk proses kelahiran pasien di sebelah, dokternya bilang,”Wita, kamu diinduksi aja ya biar cepet”. Saya sih pasrah aja deh, padahal saat itu saya udah bukaan 7 lho… dan tanpa sakit sama sekali !!! Akhirnya saya tetap diinduksi, beda dengan kelahiran pertama sampai bukaan ke 10 saya sama sekali tidak mengeluh sakit, saya hanya mengontrol napas seperti yang diajarkan susternya sambil nunggu dokternya selesai dengan pasien di sebelah. Kata-kata „aduh“ maupun „sakit“ sama sekali tidak keluar dari mulutku… Sejam kemudian bayinya lahir, Imam Fakhri Prayogo panjang 50cm berat 3.25kg.
Bedanya dengan anak pertama, waktu melahirkan pertama kali saya didampingi oleh banyak orang, suami, mamah, papah, tante, tapi anak ke 2 saya hanya ditemani oleh suami. Tapi karena sudah pengalaman, ya… kami PD aja … malah lebih bisa tenang menghadapi masa-masa genting…
Dua sudah anak kami, perempuan dan laki-laki… untuk sementara tutup buku dulu deh dengan memakai KB, gak tau deh kalo nanti beberapa tahun lagi masih pengen nambah, hehehe… Mudah-mudahan anak kami menjadi anak yang baik-baik, sehat, cerdas, gak susah makannya (ini yang suka jadi penyebab stress mamanya..)
Lea Harumi K (31 tahun), ibu dari Jasmine Gabriel Winoto (3 tahun 10 bulan)
Tanggal 9 Agustus 2002, seharusnya menjadi hari terakhirku bekerja sebelum cuti melahirkan. Kata DSOG-ku, bayi kami diperkirakan lahir tanggal 24 Agustus 2002. Jadi tanggal 12 Agustus aku baru ambil cuti. Niatnya, pada awal-awal cuti, aku ingin melakukan senam hamil,yang sudah aku ikuti setiap Sabtu, setelah usia kehamilan memasuki trimester ketiga.
Tapi….ternyata bayi kami lahir pada hari tersebut. Pagi sekitar pukul 5 pagi, aku terbangun akibat ngompol. Wah, malu deh rasanya… saat itu aku berpikir, kalau orang hamil kan memang sering sekali buang air kecil, mungkin saat ini gak ketahan aja, jadi ngompol gitu…(masih belum tahu kalau saat itu sebetulnya air ketuban sudah mulai pecah). Perut agak mulas, sehingga kuputuskan untuk tidak pergi ke kantor, istirahat di rumah aja.Sampai dengan makan siang, aku masih belum merasakan tanda-tanda kelahiran yang ‘heboh’ itu. Perut juga tidak terasa mulas atau sakit berkala, tapi ‘air seni’ kok terus-terusan keluar ya… Sekitar jam 3 siang, wah, tanda-tanda nih, mulas sudah terasa agak sering, sekitar 15 – 20 menit sekali. Kutelpon suamiku, mengabarkan tanda-tanda kelahiran si kecil, eh suami malah tenang-tenang saja. Dia bilang, ok tunggu dia pulang, baru kita berangkat ke rumah sakit.
Akhirnya, kami tiba di rumah sakit pukul 7 malam. Aku langsung masuk ke ruang bersalin untuk siap-siap melahirkan. Setelah diperiksa dalam, kata suster jaga, baru bukaan satu. Maka aku diminta pindah ruangan untuk menunggu bukaan selanjutnya.Sekitar jam 9 malam, orangtuaku datang. Aku diberi makan roti, karena sejak makan siang aku belum makan apa-apa lagi. Rasa sakit pada perut semakin menghebat sampai jam 10 malam. Saat itu, rasanya sudah tidak tahan lagi… ! Suamiku,yang menemaniku, sampai bingung mau berbuat apa.Aku teriak-teriak memanggil suster jaga. Kata suster jaga, sebaiknya aku disuntik epidural, untuk mengurangi rasa sakit saat melahirkan – DSOG-ku juga memperbolehkan suntikan tersebut. Aku setuju-setuju saja, tergantung suamiku yang akhirnya setuju juga. Saat suamiku akan menandatangani surat pernyataan setuju, suster jaga berkata proses kelahiran sang bayi sudah sangat dekat… sudah lebar sekali bukaannya. Wuih, saat itu rasanya, seperti ditonjok-tonjok dari dalam, si bayi gak sabar mau keluar…. Perjalanan menuju ruang bersalin harus kujalani dengan berjalan kaki. Apa gak hebat tuh, bisa jalan kaki sendiri ke ruang bersalin, dalam kondisi si bayi mau keluar ?
Akhirnya, proses melahirkan berlangsung dengan cepat. Thanks God ! Pukul 11.55 malam (5 menit menjelang tanggal 10 Agustus 2002), Jasmine kecil lahir… Wah, leganya.. Langsung saat itu, aku serasa pingsan. Gak sadar apa-apa sampai pagi. Kata suamiku, aku ‘teler’ berat – mungkin pengaruh obat bius dan kecapaian.Yang pasti sih kecapaian banget.. soalnya cuma dengan energi sepotong roti, aku melahirkan Jasmine. Suamiku yang setia menunggu walaupun berkali-kali kuusir karena merasa sangat kesakitan, sangat gembirakan melihat senyuman manis Jasmine, dengan lesung pipit di sebelah kirinya. Itulah hadiah pertama Jasmine untuk suamiku…
Jurike Armanto (34 tahun), ibu dari Kemal (7 tahun) dan Kayla (2 tahun 10 bulan) Kehamilan pertamaku sebenarnya merupakan pengalaman kedua dengan dokter ginekologi. Yang pertama adalah waktu aku harus dioperasi karena ditemukan kista sebesar buah mangga (yes, mangga indramayu!) di ovarium kiri. Operasi berjalan sukses dan aku disarankan untuk segera mencoba hamil. Enam bulan kemudian memang aku hamil, tapi aku memutuskan untuk pindah dokter karena si dokter pertama kurang komunikatif menurutku. Mungkin karena beliau adalah teman mertuaku dan mertuaku lupa mengundangnya waktu perkawinan kami. Entahlah. Dokter kedua ini juga kenalan mertuaku, namun orangnya sangat ramah dan suka ngobrol. Bahkan pernah waktu aku kontrol ke beliau, kita ngobrol sampai lupa bahwa ada pasien yang menunggu di luar. Satu hal yang membuatku ragu adalah beliau terkenal gemar operasi caesar. Konon, yang tidak perlu operasi caesar pun akan dibuatkan alasan untuk operasi. Jadi sejak awal aku udah memberi sinyal secara halus bahwa aku pengen melahirkan secara normal, dan sejauh ini penerimaan si dokter baik-baik saja.
Waktu kontrol bulan ketujuh dan dilakukan pemeriksaan dalam, beliau bilang bahwa lubang panggulku sempit sekali. Saat itu, ukuran kepala bayi dan ukuran lubang panggulku sudah hampir sama besar. Artinya pada saat melahirkan nanti ada kemungkinan tidak muat. Wah, kupikir dokternya pasti hanya mencari alasan saja supaya aku harus operasi, jadi aku ngotot untuk tetap mencoba melahirkan normal. Beliau sih oke saja, kita lihat saja nanti, demikian katanya.Â
Berhubung selama hamil aku tidak mengalami keluhan apa-apa kecuali sempat flek di bulan kedua (kantorku pindahan, jadi capek gotong-gotong), biar gak rugi aku bertekad untuk masuk sampai detik-detik terakhir. Perkiraan tanggal melahirkan jatuh di hari Sabtu. Semua teman menyarankan untuk ambil cuti, cuma dasar nekad, aku bilang kalo perlu aku berangkat ke rumah sakit dari kantor saja, kebetulan memang letaknya berdekatan.
Sampai Sabtu malam, tidak ada tanda-tanda sama sekali. Hari Minggu juga berjalan seperti biasa, namun di gereja aku terpaksa berdiri kurang lebih 1 jam. Sorenya keluar flek. Buru-buru baca buku, katanya itu merupakan tanda-tanda akan melahirkan, tapi kapan? Maka esoknya selain berencana untuk kontrol ke dokter jam 10, aku masih berencana ke kantor. Suami setuju jadi semua ok.Â
Kira-kira jam 3 malam itu aku terbangun karena perutku sakit. Wah, ini sakit perut mau ke belakang atau kontraksi ya? Aku mencoba tidur lagi, tetapi 20 menit kemudian, rasa sakit itu datang lagi. Begitu terus sampai jam 5.30 pagi jaraknya sudah 15 menit sekali. Aku bangunkan suamiku, dan jam 6 pagi saat jalan masih sepi kita berangkat ke rumah sakit. Duh, sakitnya astaga deh… dan mulai menjalar ke pinggang bagian belakang sampai kayak mau patah.
Sesampai di rumah sakit, bidan yang memeriksa bertanya apakah aku mau melahirkan normal atau operasi. Aku jawab normal, memangnya kenapa? Ia berkata, ukuran kepala bayi dan ukuran lubang panggulku kurang lebih sama, jadi bisa menyebabkan stress pada bayi karena terlalu dipaksa. Istilah kedokterannya CPD = Cephalo Pelvic Disproportion. Kupikir, coba saja dulu deh, kepalang udah merasakan kontraksi. J
am 7 dokter memeriksa, sambil senyum dia bilang, â€Wah, ini sih masih lama. Mungkin baru nanti sore atau malam.†Waks! Ini aja sakitnya udah bikin pengen nonjok, gimana nanti? Jam 9 baru pembukaan 3 dan kepala bayi tidak turun-turun. Jam 11 pembukaan 5 dan kepala bayi masih belum turun juga. Mulai deh terpikir untuk operasi saja. Tanya lagi ke suster, apakah dalam kasus sepertiku ini masih bisa persalinan normal? â€Bisa sihâ€, katanya, â€Cuma mungkin harus dibantu alat seperti tang atau vakum. Atau kalau memang benar-benar tidak muat, ya akhirnya dioperasi jugaâ€. Haa? Tau gitu minta operasi dari tadi dong. Langsung suamiku lari ke lantai 6 tempat si dokter praktek sambil berdoa mudah-mudahan dia belum pulang.Â
Tuhan masih sayang sama aku, si dokter masih ada, dan didoronglah aku masuk ke kamar operasi. Habis suntik epidural, aku muntah. Mungkin karena gak puasa ya (lha, wong mau normal kan). Jadilah obat biusnya terpaksa ditambah, dan entah jadinya kebanyakan atau gimana, aku malah langsung terbius. Bahkan gak sadar waktu Kemal disodorkan setelah keluar dari perut. Aku baru sadar waktu berada di ruang pemulihan. Hal pertama yang nyangkut di otak adalah perutku, kok kempes, mana bayinya? Ternyata sudah aman di ruang bayi kata suamiku (berhubung operasi, dia gak boleh masuk sama dokter).
Malam harinya, suster datang ke ruanganku dan aku disuruh jalan. Hah? Yang benar saja. Perintah dokter, katanya. Jadilah sambil terhuyung-huyung masih pakai infus aku jalan-jalan keliling kamar. Namun mungkin ada benarnya ya. Keesokan harinya, aku sudah bisa berjalan-jalan sendiri dengan santai ke ruang bayi untuk belajar menyusui sampai-sampai aku dikira melahirkan minggu lalu. Hari Rabunya aku sudah diperbolehkan pulang sama dokternya. â€Ngapain di RS lama-lama?†katanya sambil tersenyum, â€Mahal…†.
Waktu melahirkan Kayla, situasinya jauuhhhh berbeda. Mungkin juga karena anak kedua sehingga sudah lebih santai. Karena kelahiran pertama melalui operasi Caesar, makan yang kedua sudahlah, aku putuskan operasi lagi. Semua berjalan sama seperti waktu operasi Caesar saat melahirkan Kemal, kecuali kali ini aku masih sadar dan bisa melihat Kayla disodorkan padaku sesaat sesudah lahir (walaupun agak buram juga karena tidak pakai kacamata, hahaha). Seminggu setelah melahirkan, aku sudah menyetir mobil antar jemput Kemal ke sekolah. Kalau memang bisa, kenapa tidak ?
Devita Umardin (31 tahun), ibu dari Alya Inanta (3 tahun 10 bulan)Desember 2001 adalah saat yang paling menyenangkan. Aku dinyatakan positif hamil 5 minggu oleh DSOG. Karena baru menikah dan belum punya bekal pengetahuan apa-apa, aku memilih berkonsultasi di RSIA yang direkomendasikan baik oleh keluarga dan teman-teman. Untuk DSOG, kupilih DSOG kakakku, karena berdasarkan sharing pengalamannya, DSOG tersebut cukup kooperatif dan informatif.Â
Sebagai persiapan untuk membekali diri, mulailah aku ‘berburu’ buku-buku serial kehamilan. Menyenangkan sekali, aku jadi tahu tahap-tahap perkembangan janinku dari bulan ke bulan, makanan apa saja yang baik untuk dikonsumsi dan dihindari, juga masalah-masalah apa saja yang terjadi selama kehamilan dan bagaimana cara mengatasinya.Â
Aku mulai mengambil cuti hamil, tiga hari sebelum tanggal kelahiran yang diperkirakan DSOG. Sehari sebelum tanggal yang diperkirakan, aku pun mulai mulas. Jam 2 pagi, saat aku BAK, keluar flek. Sehabis shalat subuh, kami langsung ke RSIA dan proses melelahkan itu pun dimulai.
Setelah menerima 2 kali induksi di pembukaan 1 (per vaginal) dan pembukaan 8 (lewat infus), akhirnya Alya pun lahir, setelah hampir 22 jam lamanya aku harus berjuang.Anehnya, setelah melahirkan aku tidak bisa bergerak. Tubuhku seperti lumpuh mulai dari panggul hingga kaki. Jika kakiku tersentuh, aku menjerit-jerit kesakitan. Rasa nyeri yang maha hebat juga sangat terasa di atas vaginaku. Berhari-hari aku tidak dapat turun dari tempat tidur apalagi berjalan. Setelah dimassage oleh seorang teraphyst, barulah aku bisa turun dari tempat tidur di hari ke 5 setelah kelahiran Alya. Tentu saja butuh waktu yang lebih lama lagi hingga aku bisa berjalan, itu pun dengan tertatih-tatih pincang.
Akhirnya, setelah berkonsultasi ke RS yang lain, aku tahu nama penyakit yang aku derita, yaitu Symphis Pubic Dysfunction/Symphisiolysis, peregangan sendi tulang panggul yg terjadi karena proses persalinan. Menurut literature, keadaan ini sangat jarang terjadi, mungkin kurang dari 1%. Biasanya terjadi pada proses persalinan dengan penyulit. Misalnya bayi besar, atau karena adanya kelainan posisi kepala bayi pada saat masuk rongga panggul ibu. Dan karena aku baru mengetahui penyakit ini satu bulan setelah melahirkan, aku terpaksa menjalani terapi (berbaring di tempat tidur selama 24 jam dengan keadaan panggul hingga hampir lutut terikat stagen) yang lebih lama dari yang seharusnya (bahkan bisa dikatakan terapi yang kujalani sudah terlambat). Hampir habis masa cuti hamilku, terapi masih saja kujalani. Bahkan saat kembali bekerja, jalanku masih pincang dan belum sempurna.
Yang kusesalkan, DSOGku tidak menceritakan apa-apa dan tidak memberitahukan penyakit apa yang aku derita. Dia hanya menginformasikan beberapa hari setelah aku melahirkan, bahwa posisi kepala bayi saat dilahirkan miring ke kanan sehingga sulit bagiku untuk melahirkan normal, seharusnya aku melahirkan secara sectio (operasi caesar). Jika saat itu aku diinformasikan masalah yang terjadi, tentu saja aku tidak akan berkeras untuk melahirkan normal, saat DSOG menawarkan alternatif untuk melahirkan secara sectio. Ah, kalau ingat dulu, betapa mendapatkan seorang Alya, harus kubayar mahal…
Dini Rustandi (29 tahun), ibu dari Danisha (3 tahun) dan Dhafina (20 hari) Saat hamil anak pertama, aku merasa masih takut-takut dan belum tahu banyak. Karena itu aku memilih DSOG kenalan ibuku. Keuntungannya, dokter sangat mudah dihubungi, asyiknya lagi saat perlu konsultasi, aku tidak perlu antri. Kerugiannya, entah karena memang beliau yang kurang komunikatif atau mungkin karena aku adalah pasien “titipanâ€, seringkali penjelasan beliau sangat singkat dan seperlunya sehingga aku merasa kurang puas. Untuk tempat persalinan, aku memilih RSB yang letaknya dekat dengan rumah orang tua.
Aku sengaja mengambil cuti 3 minggu sebelum due date karena ingin cukup punya waktu untuk persiapan persalinan. Menuruti saran teman-temanku, aku rajin jalan pagi dan hampir setiap hari melakukan senam hamil di rumah.
Ternyata persalinan terjadi 10 hari lebih cepat dari due date. Aku berangkat ke RSB setelah siangnya keluar flek. Saat itu jam 3.30 sore. Suster yang memeriksa berkata baru pembukaan 2, dan diperkirakan paling cepat bayi lahir jam 9 malam. Tapi ketika suster memeriksaku sekitar jam 6.30, dia kaget karena sudah pembukaan ke 8 ! Padahal aku masih tenang-tenang saja. “Gak terasa sakit, Bu?†heran suster. Aku langsung disuruh masuk ke ruang bersalin. Untung dokter juga sudah datang. Pembukaan dari 8 ke 10 berlangsung kira-kira hanya 10 menit. Saat itu aku merasa mau mengejan, tapi dilarang karena pembukaan belum lengkap. Duh, baru deh terasa sakit luar biasa, sampai ingin loncat dari tempat tidur. Sampai aku merasa setengah tidak sadar, hanya bisa mendengar suara suamiku yang meneruskan perintah dokter. Alhamdulillah, sekitar jam 7 malam, lahirlah Danisha. “Wah, kalo lahirnya gampang begini, tahun depan bakalan ada adenya nih…†ledek dokter.
Aku baru hamil lagi ketika Danis berusia hampir 3 tahun. Kali ini, karena merasa sudah lebih pede, aku memilih DSOG perempuan di RSIA dekat rumah. Apa daya, memasuki usia kehamilan minggu ke 20, dokter menyatakan ada plasenta yang menutupi jalan lahir. Aku disuruh berhati-hati, jangan terlalu capek dan terlalu banyak jalan. Aku sempat panik juga. Akhirnya aku mencari second opinion pada DSOG sub spesialis perinatologi. Bertolak belakang dengan pendapat dokter pertama, dokter ini menyatakan bahwa plasenta jauh dari jalan lahir, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setelah menimbang banyak hal, juga melakukan shalat istikharah, akhirnya kuputuskan untuk memilih DSOG kedua yang memang lebih senior. Walaupun tempat praktek dan pilihan RSB letaknya cukup jauh dari rumah, mau bagaimana lagi, terpaksalah dijalani.
Aku merasa persiapan fisik saat kehamilan kali ini sangat kurang dibandingkan yang pertama. Akibatnya aku merasa kurang pede saat due date semakin dekat. Apalagi, seminggu sebelum due date, dokter pergi seminar ke luar negeri. Aku sempat stress, muntah-muntah. Takut saat melahirkan nanti tidak bisa ditangani oleh dokter. Tapi dokter menenangkanku, katanya melihat volume air ketuban yang masih banyak, kelihatannya bayi baru akan lahir sesuai due date. Kepala bayi juga belum masuk panggul, tapi kata dokter, untuk anak ke 2 hal ini biasa, nanti juga turun sendiri. Namun untuk berjaga-jaga, dokter sempat membuat surat rujukan untuk dokter pengganti.
Tapi ternyata kejadian juga… Hari Jumat siang aku merasa sangat tidak enak badan. Malamnya sekitar jam 10, aku merasakan kontraksi, tapi kupikir ini kontraksi palsu karena sakitnya kok hanya di perut bagian bawah. Aku mencoba tidur. Tapi makin malam, rasanya makin sakit. Berhubung sangat lelah, aku malah tertidur lagi. Sampai akhirnya Sabtu pagi sekitar jam 3, rasa sakit itu datang makin teratur. Aku lihat jam, lho kok sudah 10 menit sekali ? Dan ternyata sudah keluar flek. Aku panik. Melihat riwayat kelahiran pertama yang sangat cepat, karena katanya jalan lahirku sangat tipis, aku pikir bisa-bisa bayiku lahir di jalan, apalagi jarak dari rumah ke RSB cukup jauh.
Jam 4.30 pagi sesampai di RSB, aku diperiksa oleh suster dan ternyata sudah pembukaan 5. Aku sempat ge-er, mengingat proses persalinan Danis yang sangat cepat, kupikir yang ini pasti lebih cepat, paling-paling jam 7 pagi bayi sudah lahir. Ternyata, sampai sekitar jam 8.30 baru pembukaan 8, dan kepala bayi masih belum turun juga. Padahal rasa sakitnya sudah luar biasa, aku lelah dan sempat muntah-muntah. Suster bilang paling cepat baru lahir 2 jam lagi. Duh, aku sempat mewek, dan berpikir minta dioperasi caesar saja…. Untung semua orang menenangkan dan memberi support kepadaku. Tanpa sepengetahuanku, dokter pengganti yang waktu itu sudah datang, bicara dengan ibuku tentang kemungkinan bayi terlilit tali pusar dan harus dilakukan operasi caesar.
Alhamdulillah, setengah jam kemudian pembukaan lengkap. Aku dipandu suster mulai mengejan untuk menurunkan kepala bayi. Beda dengan persalinan pertama, kali ini aku sadar sepenuhnya. Dua kali kontraksi dipergunakan untuk menurunkan kepala bayi. “Dok, kepala bayi sudah turun!†seru suster, dan dokter masuk ruang bersalin untuk membantu. Kontraksi datang, 3x mengejan, tapi kepala bayi masih belum keluar. Kontraksi lagi, 3x mengejan, baru kepala bayi keluar, dan..â€Oh, terlilit tali pusar, pantas tidak turun-turun†kata dokter seraya memotong tali pusar. Baru setelah aku mengejan lagi, bayi meluncur mulus sampai ke bahu, dan dokter membantu mengeluarkan. Lahirlah putri keduaku, Dhafina. Untung lilitan tidak kencang, dan tali pusar cukup panjang, jadi masih bisa lahir normal. Tapi persalinan ke 2 ini cukup membuatku kapok. Jadi kalau ditanya kapan mau punya anak lagi berhubung kedua anakku perempuan, kujawab,â€Enggak deh, kalo boleh berencana, insya Allah dua anak aja…â€
Filed under: Persalinan | Tagged: pengalaman, Persalinan | 1 Comment »