Bendungan ASI

Memberi ASI pada bayi merupakan proses alami sebagai kewajiban seorang ibu yang mengasuh anaknya. Karena ASI merupakan makanan utama untuk bayi umur 0-6 bulan pertama kehidupannya. Proses alami untuk memberikan ASI sudah dimulai saat terjadi kehamilan, karena bersama dengan hamil, payudara telah disiapkan sehingga setelah bayi lahir ibu bisa segera memberikan ASI pada bayinya.

Sejak hari ketiga sampai hari keenam setelah persalinan, ketika ASI secara normal dihasilkan, payudara menjadi sangat penuh. Hal ini bersifat fisiologis dan dengan penghisapan yang efektif dan pengeluaran ASI oleh bayi, rasa penuh tersebut pulih dengan cepat. Namun keadaan ini bisa menjadi bendungan, pada bendungan payudara terisi sangat penuh dengan ASI dan cairan jaringan. Aliran vena dan limfotik tersumbat, aliran susu menjadi terhambat dan tekanan pada saluran ASI dan alveoli meningkat. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, dan sangat nyeri. Payudara dapat terlihat mengkilat dan edema dengan daerah eritema difus. Puting susu teregang menjadi rata, ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap ASI. Wanita kadang- kadang menjadi demam

PEDOMAN ASUHAN PERSALINAN NORMAL

Tingginya kasus kesakitan dan kematian ibu di banyak negara berkembang, terutama disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan, eklampsia, sepsis dan komplikasi keguguran. Sebagian besar penyebab utama kesakitan dan kematian ibu tersebut sebenarnya dapat dicegah. Melalui upaya pencegahan yang efektif, beberapa negara berkembang dan hampir semua negara maju, berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu ke tingkat yang sangat rendah.

Asuhan Kesehatan Ibu selama dua dasawarsa terakhir terfokus pada:

a) Keluarga Berencana untuk membantu para ibu dan suaminya merencanakan kehamilan yang diinginkan

b) Asuhan Antenatal Terfokus untuk memantau perkembangan kehamilan, mengenali gejala dan tanda bahaya, menyiapkan persalinan dan kesediaan menghadapi komplikasi

c) Asuhan Pascakeguguran untuk menatalaksana gawat-darurat keguguran dan komplikasinya serta tanggap terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.

d) Persalinan yang Bersih dan Aman serta Pencegahan Komplikasi

Kajian dan bukti ilmiah menunjukkan bahwa asuhan persalinan bersih, aman dan tepat waktu merupakan salah satu upaya efektif untuk mencegah terjadinya kesakitan dan kematian

e) Penatalaksanaan Komplikasi yang terjadi sebelum, selama dan setelah persalinan.

Dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian ibu, perlu diantisipasi adanya keterbatasan kemampuan untuk menatalaksana komplikasi pada jenjang pelayanan tertentu. Kompetensi petugas, pengenalan jenis komplikasi, dan ketersediaan sarana pertolongan menjadi penentu bagi keberhasilan penatalaksanaan komplikasi yang umumnya akan selalu berbeda menurut derajat, keadaan dan tempat terjadinya

Pergeseran Paradigma

Fokus asuhan persalinan normal adalah persalinan bersih dan aman serta mencegah terjadinya komplikasi. Hal ini merupakan pergeseran paradigma dari menunggu terjadinya dan kemudian menangani komplikasi, menjadi pencegahan komplikasi. Persalinan bersih dan aman serta pencegahan komplikasi selama dan pascapersalinan terbukti mampu mengurangi kesakitan atau kematian ibu dan bayi baru lahir.

Beberapa contoh dibawah ini, menunjukkan adanya pergeseran paradigma tersebut diatas:

· Mencegah Perdarahan Pascapersalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri

Upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan dimulai pada tahap yang paling dini. Setiap pertolongan persalinan harus menerapkan upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan, diantaranya manipulasi minimal proses persalinan, penatalaksanaan aktif kala III, pengamatan melekat kontraksi uterus pascapersalinan. Upaya rujukan obstetrik dimulai dari pengenalan dini terhadap persalinan patologis dan dilakukan saat ibu masih dalam kondisi yang optimal.

· Laserasi/episiotomi

Dengan paradigma pencegahan, episiotomi tidak lagi dilakukan secara rutin karena dengan perasat khusus, penolong persalinan akan mengatur ekspulsi kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi atau hanya terjadi robekan minimal pada perineum.

· Retensio plasenta

Penatalaksanaan aktif kala tiga dilakukan untuk mencegah perdarahan, mempercepat proses separasi dan melahirkan plasenta dengan pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir dan melakukan penegangan tali pusat terkendali.

· Partus Lama

Untuk mencegah partus lama, asuhan persalinan normal mengandalkan penggunaan partograf untuk memantau kondisi ibu dan janin serta kemajuan proses persalinan. Dukungan suami atau kerabat, diharapkan dapat memberikan rasa tenang dan aman selama proses persalinan berlangsung. Pendampingan ini diharapkan dapat mendukung kelancaran proses persalinan, menjalin kebersamaan, berbagi tanggung jawab diantara penolong dan keluarga klien.

· Asfiksia Bayi Baru Lahir

Pencegahan asfiksia pada bayi baru lahir dilakukan melalui upaya pengenalan/penanganan sedini mungkin, misalnya dengan memantau secara baik dan teratur denyut jantung bayi selama proses persalinan, mengatur posisi tubuh untuk memberi rasa nyaman bagi ibu dan mencegah gangguan sirkulasi utero-plasenter terhadap bayi, teknik meneran dan bernapas yang menguntungkan bagi ibu dan bayi. Bila terjadi asfiksia, dilakukan upaya untuk menjaga agar tubuh bayi tetap hangat, menempatkan bayi dalam posisi yang tepat, penghisapan lendir secara benar, memberikan rangsangan taktil dan melakukan pernapasan buatan (bila perlu). Berbagai upaya tersebut dilakukan untuk mencegah asfiksia, memberikan pertolongan secara tepat dan adekuat bila terjadi asfiksia dan mencegah hipotermia.

Paradigma baru (aktif) yang disebutkan sebelumnya, terbukti dapat mencegah atau mengurangi komplikasi yang sering terjadi. Hal ini memberi manfaat yang nyata dan mampu membantu upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Karena sebagian besar persalinan di Indonesia terjadi di desa atau di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dimana tingkat keterampilan petugas dan sarana kesehatan sangat terbatas maka paradigma aktif menjadi sangat strategis bila dapat diterapkan pada tingkat tersebut. Jika semua penolong persalinan dilatih agar kompeten untuk melakukan upaya pencegahan atau deteksi dini secara aktif terhadap berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, memberikan pertolongan secara adekuat dan tepat waktu, dan melakukan upaya rujukan segera dimana ibu masih dalam kondisi yang optimal maka semua upaya tersebut dapat secara bermakna menurunkan jumlah kesakitan atau kematian ibu dan bayi baru lahir.

Pelatihan Asuhan Persalinan Normal

Kajian kinerja petugas pelaksana pertolongan persalinan di jenjang pelayanan dasar yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, bekerjasama dengan Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR) dengan bantuan teknis dari JHPIEGO dan PRIME menunjukkan adanya kesenjangan kinerja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan bagi ibu hamil dan bersalin. Temuan ini berlanjut menjadi kerjasama untuk merancang pelatihan klinik yang diharapkan mampu untuk memperbaiki kinerja penolong persalinan. Dasar pelatihan klinik asuhan persalinan normal ini adalah asuhan yang bersih dan aman dari setiap tahapan persalinan dan upaya pencegahan komplikasi terutama perdarahan pascapersalinan dan hipotermia serta asfiksia bayi baru lahir.

Asuhan Persalinan Normal

Tujuan asuhan persalinan normal adalah menjaga kelangsungan hidup dan memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui upaya yang terintegrasi dan lengkap tetapi dengan intervensi yang seminimal mungkin agar prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang diinginkan (optimal). Dengan pendekatan seperti ini, berarti bahwa:

Setiap intervensi yang akan diaplikasikan dalam asuhan persalinan normal harus mempunyai alasan dan bukti ilmiah yang kuat tentang manfaat intervensi tersebut bagi kemajuan dan keberhasilan proses persalinan

Keterampilan yang diajarkan dalam pelatihan asuhan persalinan normal harus diterapkan sesuai dengan standar asuhan bagi semua ibu bersalin di setiap tahapan persalinan oleh setiap penolong persalinan dimanapun hal tersebut terjadi. Persalinan dan kelahiran bayi dapat terjadi di rumah, puskesmas atau rumah sakit. Penolong persalinan mungkin saja seorang bidan, perawat, dokter umum atau spesialis obstetri. Jenis asuhan yang akan diberikan, dapat disesuaikan dengan kondisi dan tempat persalinan sepanjang dapat memenuhi kebutuhan spesifik ibu dan bayi baru lahir.

Praktik-praktik pencegahan yang akan dijelaskan dalam buku acuan ini adalah:

a. Secara konsisten dan sistematis menggunakan praktik pencegahan infeksi seperti cuci tangan, penggunaan sarung tangan, menjaga sanitasi lingkungan yang sesuai bagi proses persalinan, kebutuhan bayi dan proses ulang peralatan bekas pakai.

b. Memberikan asuhan yang diperlukan, memantau kemajuan dan menolong proses persalinan serta kelahiran bayi. Menggunakan partograf untuk membuat keputusan klinik, sebagai upaya pengenalan adanya gangguan proses persalinan atau komplikasi dini agar dapat memberikan tindakan yang paling tepat dan memadai.

c. Memberikan asuhan sayang ibu di setiap tahapan persalinan, kelahiran bayi dan masa nifas, termasuk memberikan penjelasan bagi ibu dan keluarganya tentang proses persalinan dan kelahiran bayi serta menganjurkan suami atau anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam proses persalinan dan kelahiran bayi.

d. Merencanakan persiapan dan melakukan rujukan tepat waktu dan optimal bagi ibu di setiap tahapan persalinan dan tahapan waktu bayi baru lahir.

e. Menghindarkan berbagai tindakan yang tidak perlu dan/atau berbahaya seperti misalnya kateterisasi urin atau episiotomi secara rutin, amniotomi sebelum terjadi pembukaan lengkap, meminta ibu meneran secara terus-menerus, penghisapan lendir secara rutin pada bayi baru lahir.

f. Melaksanakan penatalaksanaan aktif kala tiga untuk mencegah perdarahan pascapersalinan.

g. Memberikan asuhan segera pada bayi baru lahir termasuk mengeringkan dan menghangatkan bayi, pemberian ASI sedini mungkin dan eksklusif, mengenali tanda-tanda komplikasi dan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai untuk menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.

h. Memberikan asuhan dan pemantauan pada masa awal nifas untuk memastikan kesehatan, keamanan dan kenyamana ibu dan bayi baru lahir, mengenali secara dini gejala dan tanda bahaya atau komplikasi pascapersalinan/bayi baru lahir dan mengambil tindakan yang sesuai.

i. Mengajarkan pada ibu dan keluarganya untuk mengenali gejala dan tanda bahaya pada masa nifas pada ibu dan bayi baru lahir

j. Mendokumentasikan semua asuhan yang telah diberikan.

Pada akhir pelatihan, peserta latih harus menguasai pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan sehingga mampu untuk memberikan asuhan persalinan yang aman dan bersih serta mencegah terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir, baik di setiap tahapan persalinan, kelahiran bayi maupun pada awal masa nifas. Peserta latih adalah petugas kesehatan yang akan menjadi pelaksana pertolongan persalinan, juga harus mampu untuk mengenali (sejak dini) setiap komplikasi yang mungkin terjadi dan mengambil tindakan yang diperlukan dan sesuai dengan standar yang diinginkan. Praktik terbaik asuhan persalinan normal terbukti mampu mencegah terjadinya berbagai penyulit atau komplikasi yang dapat mengancam keselamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir sehingga upaya perbaikan status kesehatan dan kualitas hidup kelompok rentan risiko ini dapat diwujudkan.

UNTUK LEBIH JELASKAN SILAHKAN DOWNLOAD MATERI BERIKUT

1. PENDAHULUAN

2. DAFTAR ISI

3. BAB I, BAB 2, BAB3, BAB4, BAB5, BAB6, DAN BAB6B

PRAKTEK MENYUSUI YANG BENAR

PRAKTEK MENYUSUI YANG BENAR
dr. Siti Dhyanti Wisnuwardhani

Gerakan nasional peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak. Upaya yang penting ini, keberhasilannya perlu didukung dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat. Para ibu, sebagai pelopor peningkatan kualitas sumber daya Indonesia, patut menyadari dan meningkatkan pengetahuannya untuk menunjang gerakan ini.
Pada dasarnya, segera setelah melahirkan, secara naluri setiap ibu mampu menjalankan tugas untuk menyusui bayinya. Namun, untuk mempraktekkan bagaimana menyusui yang baik dan benar, setiap ibu perlu mempelajarinya. Bukan saja ibu-ibu yang baru pertama kali hamil dan melahirkan, tetapi juga ibu-ibu yang baru melahirkan anak yang kedua dan seterusnya. Mengapa ? Karena setiap bayi lahir merupakan individu tersendiri, yang mempunyai variasi dan spesifikasi sendiri. Dengan demikian ibu perlu belajar berinteraksi dengan bayi yang baru lahir ini, agar dapat berhasil dalam menyusui.
Untuk itu diperlukan motivasi yang tinggi sejak dini dan dukungan serta bimbingan yang optimal dari keluarga, lingkungan dan tenaga kesehatan yang merawat ibu selama hamil, bersalin dan masa nifas.
Dengan mengikuti dan mempelajari segala pengetahuan mengenai laktasi, diharapkan setiap ibu hamil, bersalin dan menyusui dapat memberikan ASI secara optimal, sehingga bayi dapat tumbuh kembang normal sebagai calon sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.

1. Perawatan Payudara

Demi keberhasilan menyusui, payudara memerlukan perawatan sejak dini secara teratur. Perawatan selama kehamilan bertujuan agar selama masa menyusui kelak produksi ASI cukup, tidak terjadi kelainan pada payudara dan agar bentuk payudara tetap baik setelah menyusui.
Pada umumnya, wanita dalam kehamilan 6 – 8 minggu akan mengalami pembesaran payudara. Payudara akan terasa lebih padat, kencang, sakit dan tampak jelas di permukaan kulit adanya gambaran pembuluh darah yang bertambah serta melebar. Kelenjar Montgomery pada daerah areola tampak lebih nyata dan menonjol.
Guna menunjang perkembangan payudara dalam kehamilan ini, sejak usia kehamilan 2 bulan, sebaiknya wanita hamil mulai mengganti pakaian dalam (BH / bra) nya dengan ukuran yang lebih sesuai, dan dapat menopang perkembangan payudaranya. Biasanya diperlukan BH ukuran 2 nomor lebih besar dari ukuran yang biasa dipakai.
Di samping pemakaian BH yang sesuai, untuk menunjang produksi ASI dan membantu mempertahankan bentuk payudara setelah selesai masa menyusui, perlu dilakukan latihan gerakan otot-otot badan yang berfungsi menopang payudara. Misalnya gerakan untuk memperkuat otot pektoralis : kedua lengan disilangkan di depan dada, saling memegang siku lengan lainnya, kemudian lakukan tarikan sehingga terasa tegangan otot-otot di dasar payudara (Stoppard’s).
Kebersihan / hygiene payudara juga harus diperhatikan, khususnya daerah papila dan areola. Pada saat mandi, sebaiknya papila dan areola tidak disabuni, untuk menghindari keadaan kering dan kaku akibat hilangnya lendir pelumas yang dihasilkan kelenjar Montgomery. Areola dan papila yang kering akan memudahkan terjadinya lecet dan infeksi.
Selama kehamilan, papila harus disiapkan agar menjadi lentur, kuat dan tidak ada sumbatan. Persiapan dilakukan setiap hari sebanyak 2 kali sehari setelah usia kehamilan 7 bulan. Caranya dengan kompres masing-masing putting susu selama 2-3 menit dengan kapas yang dibasahi minyak, kemudian tarik dan putar putting ke arah luar 20 kali, ke arah dalam 20 kali. Pijat daerah areola untuk membuka saluran susu. Bila keluar cairan, oleskan ke papila dan sekitarnya. Kemudian payudara dibersihkan dengan handuk yang lembut.
Putting susu yang terbenam atau datar perlu dikoreksi agar dapat menonjol keluar sehingga siap untuk disusukan kepada bayi. Masalah ini dapat diatasi dengan bantuan pompa putting (“nipple puller”) pada minggu terakhir kehamilan.

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan menyusui

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ibu hamil sehat dan mampu menyusui bayinya adalah :
1. Nutrisi / gizi ibu hamil.
Dari diet sehari-hari, zat gizi yang masuk ke dalam tubuh serta cadangan yang ada pada wanita hamil dan menyusui akan digunakan untuk aktifitas dan metabolisme ibu, untuk memproses pembentukan ASI dan nilai kalori serta zat gizi ASI itu sendiri. Berdasarkan angka kecukupan gizi, kebutuhan tambahan kalori wanita hamil kurang lebih 285 kkal per hari. Penambahan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan wanita yang tidak hamil / menyusui, yaitu wanita dengan aktifitas ringan 1900 kkal / hari, kerja sedang 2100 kkal / hari, dan kerja berat 2400 kkal / hari. Adapun kecukupan yang seimbang kira-kira 40 kkal / kgBB, dengan komposisi protein 20 -25%, lemak 10-25% dan karbohidrat 50-60%. Jumlah cairan yang perlu diminum oleh wanita hamil tidak banyak berbeda dari wanita tidak hhamil, sekitar 2 liter per hari.
2. Istirahat
Wanita hamil sebaiknya tidur minimal 8 jam sehari. Kegiatan dan gerakannya sehari-hari harus memperhatikan perubahan fisik dan mental yang terjadi pada dirinya. Di antara waktu kegiatannya tersebut diperlukan waktu untuk istirahat (santai) guna melemaskan otot-otot. Bagi wanita yang bekerja, hendaknya dapat diatur agar cuti hamil dan bersalinnya diambil sebanyak mungkin setelah ia bersalin sehingga ia dapat menyusui bayinya selama mungkin sebelum bekerja.
3. Tidak merokok, minum alkohol, kopi, soda
Termasuk menjauhi asap rokok dari orang lain. Minuman kopi dan minuman soda dapat mengurangi kemampuan usus untuk menyerap kalsium dan zat besi.
4. Obat-obatan
Pemakaian obat-obatan selama hamil hanya atas petunjuk bidan atau dokter, terutama menjelang persalinan perlu diperhatikan, agar tidak berpengaruh terhadap laktasi.
5. Keluhan lain
Adanya keluhan lain, misalnya sakit gigi / mulut, infeksi lainnya, perlu diperhatikan, karena dapat menjalar ke bagian tubuh lainnya dan mengganggu kehamilan.
6. Kebersihan diri dan pakaian yang nyaman
Perlu mendapat perhatian untuk menjaga kesehatan. Pilihlah pakaian yang longgar, ringan, mudah dipakai dan menyerap keringat.
7. Mengenal petugas kesehatan yang menolong
Sebaiknya selama 3 bulan terakhir kehamilan, seorang ibu telah menentukan seorang dokter yang akan mengawasi persalinan dan pertolongan anaknya kelak. Kerjasama antara tenaga penolong persalinan dan dokter anak juga harus dibina.

3. Praktek menyusui

Proses laktasi terdiri dari 2 tahap. Pertama adalah dimulainya pembentukan air susu pada masa kehamilan, dan kedua adalah periode menyusui sesudah bayi lahir, yaitu saat air susu dibentuk dan dikeluarkan. Masa ini kita sebut sebagai masa menyusui yang lamanya sangat tergantung pada motivasi dan “kemampuan” seorang ibu untuk menerapkan manajemen laktasi.
Setiap bayi, sejak dilahirkan seyogyanya mendapat ASI saja (termasuk kolostrum) dalam 4-6 bulan pertama kehidupannya. Diawali dengan kontak dini segera setelah dilahirkan, isapan bayi pada putting susu ibu untuk pertama kalinya ini akan merangsang keluarnya hormon-hormon yang menunjang keberhasilannya menyusui. Kemudian, bayi dalam kondisi baik seyogyanya dirawat bersama dalam satu ruangan dengan bayinya (rawat gabung). Pelaksanaan ini penting untuk menjamin terpenuhinya segala kebutuhan bayi, baik fisik maupun psikik setiap saat dari ibunya. Selama ASI belum keluar pada 2-3 hari setelah ibu melahirkan, bayi yang sehat TIDAK perlu diberi makanan / cairan lain. Ia hanya perlu mengisap kolostrum yang keluar dari putting ibunya saja. Setelah mencapai usia 4-6 bulan, secara bertahap dapat diberikan makanan pendamping ASI. ASI dapat terus diberikan sampai anak berusaia 2 tahun.
Dalam masa menyusui terjadi beberapa refleks yang penting pengaruhnya terhadap kelancaran laktasi, yaitu refleks yang terjadi pada ibu dan pada bayi.

Refleks yang terjadi pada ibu di antaranya :
1. Refleks prolaktin
Sewaktu bayi menyusu, ujung saraf sensoris yang terdapat pada putting susu terangsang. Rangsangan ini akan dikirim ke otak (hipotalamus) yang akan memacu keluarnya hormon prolaktin yang kemudian akan merangsang sel-sel kelenjar payudara untuk memproduksi ASI. Jadi makin sering bayi mengisap, makin banyak prolaktin yang dilepas dan makin banyak ASI yang diproduksi. Oleh karena itu, menyusukan dengan sering adalah cara terbaik untuk mendapatkan ASI dalam jumlah banyak.
2. Refleks aliran / refleks oksitosin (“let down reflex”)
Rangsangan yang ditimbulkan oleh isapan bayi waktu menyusu diantar pula ke bagian lain dari otak yang akan melepaskan hormon oksitosin. Oksitosinn akan memacu sel-sel otot yang mengelilingi jaringan kelenjar dan salurannya untuk berkontraksi, sehingga memeras air susu keluar hingga mencapai sinus laktiferus di balik areola, untuk kemudian menuju putting susu. Dengan demikian terjadi “areolar engorgement” (pembengkakan). Kadang-kadang tekanan karena kontraksi otot itu begitu kuat sehingga air susu keluar dari putting menyembur dan dapat membuat bayi tersedak.
Keluarnya air susu karena kontraksi otot tersebut disebut “let down reflex”. Melalui refleks inilah terjadi pula kontraksi rahim yang membantu lepasnya plasenta (ari-ari) dan mengurangi perdarahan. Oleh karena itu setelah bayi dilahirkan, kalau keadaan memungkinkan sebaiknya bayi segera disusukan ibunya (kontak dini).
Terjadinya refleks aliran dipengaruhi oleh jiwa ibu. Rasa kuatir atau kesusahan akan menghambat refleks tersebut. Sebaliknya, tidak jarang, refleks ini terjadi pula bila sang ibu mendengar bayinya menangis, melihat foto bayinya atau sedang teringat pada bayinya saat berada jauh dari bayinya itu.

Refleks yang terjadi pada bayi di antaranya :
1. “Rooting reflex”
Bila bayi baru lahir disentuh pipinya, dia akan menoleh ke arah sentuhan. Bila bibirnya dirangsang atau disentuh, dia akan membuka mulut dan berusaha mencari putting untuk menyusu. Keadaan ini dikenal dengan sebutan “rooting reflex”.
2. “Sucking reflex” (refleks menghisap)
Refleks ini terjadi bila ada sesuatu yang merangsang langit-langit dalam mulut bayi. Jika putting susu ibu menyentuh langit-langit belakang mulut bayi, terjadi refleks menghisap dan terjadi tekanan terhadap daerah areola oleh gusi, lidah bayi serta langit-langit, sehingga isi sinus laktiferus diperas keluar ke dalam rongga mulut bayi.
3. Refleks menelan
Bila ada cairan di dalam rongga mulut, terjadi refleks menelan.

Dengan memperhatikan adanya refleks-refleks tersebut, langkah-langkah menyusui yang baik dan benar adalah meliputi hal-hal berikut :
– persiapan mental dan fisik ibu setiap akan menyusui. Ibu harus dalam keadaan tenang. Bila perlu minum segelas air sebelum menyusui. Hindari menyusui pada keadaan lapar dan haus.
– sediakan tempat dengan peralatan yang diperlukan, seperti kursi dengan sandaran punggung dan sandaran tangan, bantal untuk menopang tangan yang menggendong bayi.
– sebelum menggendong bayi untuk menyusui, tangan harus dicuci bersih. Sebelum menyusui, tekan daerah areola di antara telunjuk dan ibu jari sehingga keluar 2-3 tetes ASI, kemudian oleskan ke seluruh putting dan areola. Cara menyusui yang terbaik adalah bila ibu melepaskan BH dari kedua payudaranya.
– susukan bayi sesuai dengan kebutuhannya (“on demand”), jangan dijadwalkan. Biasanya kebutuhan terpenuhi dengan menyusui tiap 2-3 jam sekali. Setiap kali menyusui, lakukanlah pada kedua payudara kiri dan kanan secara bergantian, masing-masing sekitar 10 menit. Mulailah selalu dengan payudara sisi terakhir yang disusui sebelumnya. Periksa ASI sampai payudara terasa kosong.
– setelah selesai menyusui, oleskan ASI lagi seperti awal menyusui tadi. Biarkan kering oleh udara sebelum kembali memakai BH. Langkah ini berguna untuk mencegah lecet.
– membuat bayi bersendawa setelah menyusui harus selalu dilakukan, untuk mengeluarkan udara dari lambung supaya bayi tidak kembung dan muntah.
Bila terjadi keadaan lecet pada putting dan atau sekitarnya, sebaiknya ibu tetap menyusui dengan mendahului pada putting yang tidak lecet. Sebelum diisap, putting yang lecet dapat diolesi es untuk mengurangi rasa sakit. Yang lebih penting dalam kejadian ini adalah mencari penyebab lecet tersebut yang tentunya harus dihindari.
Keadaan engorgement (payudara bengkak) sering terjadi pada payudara yang elastisitasnya kurang. Untuk mengatasinya, kompres payudara dengan handuk hangat kira-kira 4-5 menit, kemudian dilakukan masase dari tepi ke arah putting hingga ASI keluar. Setelah itu baru bayi disusukan. Jangan berhenti menyusui dalam keadaan ini.

Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan selama menyusui :
1. Nutrisi
Meskipun umumnya keadaan gizi pada ibu hanya akan mempengaruhi kuantitas dan bukan kualitas ASI-nya, ibu menyusui selayaknya tidak membatasi konsumsi makanannya. Penurunan berat badan sesudah melahirkan sebaiknya tidak melebihi 0.5 kg/minggu. Pada 6 bulan pertama masa menyusui, yaitu saat bayi hanya mendapatkan ASI saja (“exclusive breastfeeding period”), ibu membutuhkan tambahan kalori sebanyak 700 kkal/hari, pada 6 bulan selanjutnya kira-kira 500 kkal/hari dan pada tahun kedua 400 kkal/hari.
Jumlah cairan yang dibutuhkan ibu menyusui tentu lebih banyak dari biasanya. Oleh karena itu ibu menyusui dianjurkan minum 8-12 gelas per hari.
2. Istirahat
Bila laktasi tidak berlangsung baik, biasanya penyebab utamanya adalah kelelahan pada ibu. Oleh karena itu, istirahat dan tidur yang cukup merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
3. Obat-obatan
Pemakaian obat-obatan dalam masa menyusui perlu mendapat perhatian, apakah mempunyai efek positif atau negatif terhadap laktasi. Sebagai contoh, beberapa obat yang dapat mengurangi produksi ASI yaitu pil KB yang mengandung hormon estrogen. Kebanyakan obat juga dikeluarkan melalui ASI, tetapi yang dikonsumsi bayi hanya 0.001 – 0.5% daripada dosis obat yang dapat diberikan kepada bayi.
4. Posisi ibu-bayi yang benar saat menyusui
Dapat dicapai bila bayi tampak menyusui dengan tenang, bayi menempel betul pada ibu, mulut dan dagu bayi menempel betul pada payudara, mulut bayi membuka lebar, sebagian besar areola tertutup mulut bayi, bayi mengisap ASI pelan-pelan dengan kuat, putting susu ibu tidak terasa sakit dan putting terhadap lengan bayi berada pada satu garis lurus.
5. Penilaian kecukupan ASI pada bayi
Bayi usia 0-4 bulan atau 6 bulan dapat dinilai cukup pemberian ASI nya bila tercapai keadaan sebagai berikut : 1) berat badan lahir telah pulih kembali setelah bayi berusia 2 minggu, 2) kenaikan berat badan dan tinggi badan sesuai dengan kurva pertumbuhan normal, 3) bayi banyak ngompol, sampai 6 kali atau lebih dalam sehari, 4) tiap menyusui, bayi menyusu dengan kuat (“rakus”) tetapi kemudian melemah dan bayi tertidur, 5) payudara ibu terasa lunak setelah disusukan dibandingkan sebelum disusukan.
6. Di luar waktu menyusui
Jangan membiasakan bayi menggunakan dot atau kempeng. Berikan ASI dengan sendok bila ibu tidak dapat menyusui bayinya.
7. Ibu bekerja
Selama cuti hendaknya ibu menyusui bayinya terus. Jangan juga membiasakan bayi menyusu dengan botol bila masa cuti telah habis dan ibu harus kembali bekerja.
8. Pemberian makanan pendamping ASI
Makanan pendamping ASI hendaknya diberikan mulai usia bayi 4-6 bulan. Bila ibu bekerja, sebaiknya makanan pendamping ASI diberikan pada jam kerja, sehingga ASI dapat tetap diberikan bila ibu berada di rumah.
9. Penyapihan
Menghentikan pemberian ASI harus dilakukan secara bertahap dengan jalan meningkatkan frekuensi pemberian makanan anak dan menurunkan frekuensi pemberian ASI secara bertahap dalam kurun waktu 2-3 bulan.
10. Klinik laktasi
Pusat pelayanan kesehatan ibu dan anak harus memiliki pelayanan yang dapat meyakinkan setiap ibu dalam masa menyusui bahwa ia selalu dapat berkonsultasi untuk setiap masalah laktasi yang dialaminya. Untuk itu perlu diadakan klinik laktasi atau tenaga terlatih untuk membantunya pada sarana pelayanan kesehatan yang terdekat.
11. Kelompok pendukung ASI
Perlu dibina adanya kelompok pendukung ASI di lingkungan masyarakat, yang dapat merupakan sarana untuk mendukung ibu-ibu di lingkungan tersebut agar berhasil menyusui bayinya, dibantu oleh tenaga kesehatan yang ada di lingkungan tersebut. Melalu kelompok ini, ibu-ibu menyusui dapat mengadakan diskusi dan mendapat bantuan bila mengalami masalah dalam menyusui bayinya.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap ibu dapat mempraktekkan cara menyusui yang baik dan benar bila dibantu mempersiapkan diri sejak dini. Selama masa menyusui, keberhasilan menyusui sangat tergantung oleh keadaan fisik dan mental sang ibu yang ditunjang oleh keadaan nutrisi, istirahat yang cukup serta beberapa faktor lainnya, termasuk dukungan dari suami, keluarga dan lingkungannya.

Bahan Bacaan :

MASALAH-MASALAH DALAM MENYUSUI
Modul Manajemen Laktasi

Masalah yang timbul selama menyusui dapat dimulai sejak sebelum persalinan (periode antenatal), masa pascapersalinan dini (masa nifas / laktasi), dan masa pascapersalinan lanjut. Masalah menyusui dapat timbul pula karena keadaan-keadaan khusus. Dalam tulisan ini akan diuraikan masalah menyusui yang dibagi menurut kelompok tersebut.

1. Masalah menyusui pada masa antenatal

Putting susu datar atau terbenam
Untuk mengetahui apakah putting susu datar, cubitlah areola di sisi putting susu dengan ibu jari dan jari telunjuk. Putting susu yang normal akan menonjol, namun putting susu yang datar tidak menonjol.
Tidak selalu ibu dengan putting susu datar mengalami kesulitan besar waktu menyusui. Dengan pengalaman, banyak ibu yang tetap bisa memberikan ASI kepada bayinya. Bila dijumpai putting susu datar, dilakukan :
– usahakan putting menonjol keluar dengan cara menarik dengan tangan (gerakan Hoffman), atau dengan menggunakan pompa putting susu.
– jika tetap tidak bisa, usahakan agar tetap disusui dengan sedikit penekanan pada bagian areola dengan jari sehingga membentuk “dot” ketika memasukkan putting susu ke dalam mulut bayi. Bila terlalu penuh, ASI dapat diperas dahulu dan diberikan dengan sendok atau cangkir. Dengan demikian, diharapkan putting susu akan sedikit demi sedikit keluar dan lentur.
Bila terjadi putting susu terbenam, putting akan tampak masuk ke dalam areola sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini dapat disebabkan karena ada sesuatu yang menarik putting susu ke arah dalam, misalnya tumor atau penyempitan saluran susu. Kelainan ini seharusnya sudah diketahui sejak dini, paling tidak pada saat kehamilan, sehingga dapat diusahakan perbaikannya.
Bila dijumpai putting susu terbenam, diusahakan dengan cara :
– lakukan gerakan Hoffman, yaitu dengan meletakkan kedua jari telunjuk atau ibu jari di daerah areola, kemudian dilakukan pengurutan menuju ke arah yang berlawanan (walaupun hasilnya kadang-kadang kurang memuaskan).
– dapat menggunakan pompa putting susu atau jarum suntik 10 ml yang telah dimodifikasi, setiap hari, untuk mencoba menghisap supaya putting susu menonjol keluar. Namun harus dihindari rasa bosan atau lelah sewaktu mencoba mengeluarkan putting, karena rasa bosan dan marah justru akan menyebabkan produksi ASI berkurang. Karena itu harus dipertimbangkan benar, berapa lama ibu mencoba dengan cara seperti ini.

Putting susu tidak lentur
Putting susu yang tidak lentur akan menyulitkan bayi untuk menyusu. Meskipun demikian, putting susu yang tidak lentur pada awal kehamilan seringkali akan menjadi lentur (normal) pada saat menjelang atau saat persalinan, sehingga tidakmemerlukan tindakan khusus. Namun sebaiknya tetap dilakukan latihan seperti cara mengatasi putting susu yang terbenam.

2. Masalah menyusui pada masa pascapersalinan dini

Putting susu lecet
Putting susu lecet dapat disebabkan trauma pada putting susu, selain itu dapat juga terjadi retak dan pembentukan celah-celah. Retakan pada putting susu bisa sembuh sendiri dalam waktu 48 jam. Bila dijumpai lecet atau jenis trauma lain pada putting susu, dikerjakan :
– kalau rasa nyeri dan luka lecet tidak terlalu berat, ibu bisa terus menyusui bayi.
– putting susu diolesi ASI dan biarkan mengering dengan sendirinya, jangan menggunakan BH yang terlalu ketat.
– apabila terdapat rasa nyeri hebat, atau luka makin berat, putting susu yang sakit diistirahatkan sampai memungkinkan untuk kembali menyusui bayi pada putting susu yang sakit tersebut. Biasanya masa istirahat ini tidak lama, sekitar 24 jam.
– selama putting susu yang bersangkutan diistirahatkan, ASI dikeluarkan oleh ibu dengan tangan. Sebaiknya jangan menggunakan pompa, karena menambah rasa nyeri dan membuat luka bertambah parah.
Untuk menghindari terjadinya putting susu nyeri atau lecet, perhatikan beberapa hal di bawah ini :
– setiap kali hendak menyusui dan sesudah menyusui, putting susu diolesi dengan ASI.
– jangan membersihkan putting susu dengan sabun, alkohol, krim, dan obat-obatan yang dapat merangsang kulit / putting susu.
– lepaskan hisapan bayi dengan cara yang benar, yaitu dengan menekan dagu bayi atau memasukkan jari kelingking ibu yang bersih ke dalam mulut bayi.

Payudara bengkak
Kadang-kadang payudara terasa membengkak atau penuh. Hal ini terjadi karena edema ringan oleh hambatan vena atau saluran limfe akibat ASI yang menumpuk di dalam payudara. Kejadian seperti ini jarang terjadi kalau pemberian ASI sesuai dengan kemauan bayi. Faktor-faktor lain yang menyebabkan payudara bengkak adalah : bayi tidak menyusu dengan kuat, posisi bayi pada payudara salah sehingga proses menyusui tidak benar, serta terdapat putting susu yang datar atau terbenam.
Jika terdapat hal-hal seperti ini, dapat dilakukan :
– bayi disusui, sehingga mengurangi rasa membengkak.
– setiap kali menyusui payudara harus sampai kosong.
– gunakan BH yang dapat menopang dengan nyaman.
– kompres dingin dapat mengurangi rasa tidak enak.
– rasa nyeri dapat juga dikurangi dengan obat analgesik.
– ASI dapat diperas sedikit dengan tangan, frekuensi pengeluaran harus lebih sering.
– beritahu ibu bahwa dalam waktu 1-2 hari keluhan akan reda.

Saluran susu tersumbat
Saluran susu tersumbat (obstructed duct) adalah keadaan di mana terjadi sumbatan pada satu atau lebih saluran susu / duktus laktiferus yang dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya tekanan jari pada payudara waktu menyusui, pemakaian BH yang terlalu ketat, dan komplikasi payudara bengkak yang berlanjut yang menyebabkan terjadinya sumbatan. Pada ibu yang kurus, sumbatan ini tampak sebagai benjolan yang teraba lunak. Sumbatan saluran susu dapat dicegah dengan cara melakukan :
– perawatan payudara pasca persalinan secara teratur.
– memakai BH yang menopang dan tidak terlalu ketat.
– mengeluarkan ASI dengan tangan atau pompa bila setelah menyusui payudara masih terasa penuh.
Bila ibu merasa nyeri, dapat dikompres dengan air hangat dan dingin, yaitu kompres hangat sebelum menyusui supaya bayi lebih mudah mengisap putting susu, dan kompres dingin setelah menyusui untuk mengurangi rasa nyeri dan pembengkakan. Sumbatan saluran susu dapat berlanjut menjadi mastitis, karena itu perlu dirawat dengan baik.

Mastitis dan abses payudara
Mastitis adalah peradangan pada payudara. Bagian yang terkena menjadi merah, bengkak, nyeri dan panas. Temperatur badan ibu meninggi, kadang disertai menggigil. Kejadian ini biasanya terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan, akibat lanjutan dari sumbatan saluran susu.
Bila mastitis berlanjut, dapat terjadi abses payudara. Ibu tampak sakit lebih parah, payudara lebih merah dan mengkilap, benjolan tidak lagi sekeras pada mastitis, tetapi mengandung cairan (pus).
Cara mengatasi mastitis :
– dokter memberikan pengobatan antibiotika dan simptomatik terhadap nyeri
– kompres hangat
– ibu cukup istirahat dan banyak minum
– sebelum terbentuk abses, menyusui harus terus diteruskan, dimulai dari bagian yang sakit. Jika sudah terjadi abses, payudara yang sakit tidak boleh disusukan, mungkin perlu juga tindakan bedah. Tapi payudara yang sehat harus tetap digunakan menyusui, dengan perawatan dan kebersihan yang sebaik mungkin.
Tindakan yang harus segera dilakukan pada abses payudara adalah :
– merujuk ibu ke dokter bedah untuk dilakukan insisi dan drainase pus
– pemberian antibiotik dosis tinggi serta simptomatik analgesik/antipiretik
– ibu harus cukup beristirahat
– bayi dihentikan menyusu pada payudara yang sakit, sementara pada payudara yang sehat diteruskan.

3. Masalah menyusui pada masa pascapersalinan lanjut

Sindrom ASI kurang
Sindrom ASI kurang adalah keadaan di mana ibu merasa bahwa ASI-nya kurang, dengan berbagai alasan yang menurut ibu merupakan tanda tersebut, misalnya :
– payudara kecil, padahal ukuran payudara tidak menggambarkan kemampuan ibu untuk memproduksi ASI. Ukuran payudara berhubungan dengan beberapa faktor, misalnya faktor hormonal (estrogen dan progesteron), keadaan gizi, dan faktor keturunan. Hormon estrogen akan menyebabkan pertumbuhan saluran susu dan penimbunan lemak, sedangkan hormon progesteron memacu pertumbuhan kelenjar susu. Masukan makanan yang berlebihan terutama energi akan ditimbun sebagai lemak, sehingga payudara akan bertambah besar, sebaliknya penurunan masukan energi, misalnya karena penyakit, akan menyebabkan berkurangnya timbunan lemak termasuk di payudara, sehingga ukuran payudara berkurang. Seberapapun ukuran payudara seorang wanita, tetap dianggap normal, kecuali jika ada kelainan tertentu misalnya tumor. Ukuran payudara ideal sangat dipengaruhi faktor lingkungan atau penilaian masyarakat setempat.
– ASI yang tampak berubah kekentalannya, misalnya lebih encer, disangka telah berkurang, padahal kekentalan ASI bisa saja berubah-ubah.
– payudara tampak mengecil, lembek atau tidak penuh / merembes lagi, padahal ini suatu tanda bahwa produksi ASI telah sesuai dengan keperluan bayi.
– bayi sering menangis disangka kekurangan ASI, padahal bayi menangis bisa karena berbagai penyebab.
– bayi lebih sering minta diteteki, kecuali karena ASI memang lebih mudah dicerna, juga bayi memang memerlukan ASI yang cukup untuk tumbuh kembang, dan yang penting : masalah menyusui bukan hanya memberi makan bayi, tetapi karena bayi juga memerlukan belaian, kehangatan dan kasih sayang.
– bayi minta disusui pada malam hari, hal ini memang penting, karena bayi memerlukan dekapan dan ASI pada malam hari, selain itu menyusui pada malam hari akan memperbanyak produksi ASI dan mengurangi kemungkinan sumbatan payudara.
– bayi lebih cepat selesai menyusu dibanding sebelumnya, hal ini karena bayi telah lebih terbiasa menyusu.
Jika ada keluhan-keluhan semacam ini, cobalah mengadakan evaluasi dan pendekatan psikologis seperti tersebut di atas, serta coba dievaluasi juga hal-hal berikut : 1) ibu jangan merokok, karena merokok mengurangi produksi ASI, 2) kalau ibu menggunakan pil KB, cobalah berkonsultasi dengan dokter, 3) jangan menggunakan alat bantu putting susu, karena akan membingungkan dan melelahkan bayi, serta mengurangi produksi ASI, 4) teruskan menyusui dengan sabar dan sesering mungkin, karena akan memperbanyak produksi ASI, 5) cobalah menyusui dengan payudara pertama selama kurang lebih 10 menit, kemudian payudara kedua selama kurang lebih 20 menit, karena saat awal bayi lebh kuat menyusu, 6) menyusui dimulai dari payudara yang terakhir disusukan secara berganti-ganti, 7) jangan memberikan susu buatan, karena akan membingungkan bayi, 8) ibu harus banyak beristirahat, 9) ibu harus lebih banyak minum, 10) perhatikan kecukupan gizi makanan, 11) ibu harus tenang, santai, jangan tegang / stress, karena ketegangan dan kecemasan akan mengurangi produksi ASI, 12) ibu harus menyusui dalam suasana yang nyaman.

Bingung putting
Bingung putting (“nipple confusion”) adalah suatu keadaan yang terjadi karena bayi mendapat susu formula dalam botol berganti-ganti dengan menyusu ibu. Peristiwa ini terjadi karena proses menyusu pada putting ibu berbeda dengan menyusu pada botol. Menyusu pada putting memerlukan kerja otot-otot pipi, gusi, langit-langit dan lidah, sebaliknya menyusu pada botol akan membuat bayi pasif menerima susu karena dot sudah berlubang di ujungnya.
Tanda-tanda bayi bingung putting adalah :
– bayi mengisap putting seperti mengisap dot, lemah, terputus-putus, sebentar
– atau dapat juga bayi menolak menyusu
Karena itu, untuk menghindari bayi bingung putting, perlu dilakukan :
– jangan menggunakan susu formula tanpa indikasi yang sangat kuat.
– kalau terpaksa harus memberikan susu formula, berikan dengan sendok atau pipet, jangan sekali-kali menggunakan botol atau kempengan.

Bayi sering menangis
Menangis adalah cara bayi berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya. Karena itu bila bayi sering menangis, perlu dicari sebabnya, yaitu dengan :
– perhatikan, mengapa bayi menangis, apakah karena laktasi belum berjalan dengan baik, atau karena sebab lain, seperti ngompol, sakit, merasa jemu, ingin digendong atau disayang ibu.
– keadaan-keadaan itu merupakan hal yang biasa, ibu tidak perlu cemas, karena kecemasan ibu dapat mengganggu proses laktasi karena produksi ASI berkurang.
– cobalah mengatasi dengan memeriksa pakaian bayi, mungkin perlu diganti karena basah, coba mengganti posisi bayi menjadi tengkurap, atau bayi digendong dan dibelai.
– mungkin bayi belum puas menyusu karena posisi bayi tidak benar waktu menyusu, akibatnya ASI tidak keluar dengan baik.
– Bayi menangis mempunyai maksud menarik orang lain (terutama ibunya) karena sesuatu hal : lapar, ingin digendong dan sebagainya. Oleh sebab itu jangan membiarkan bayi menangis terlalu lama. Bayi akan menjadi lelah, menyusu tidak sempurna, dan jika ibu cemas atau kesal, produksi ASI juga akan terganggu. Jika bayi menangis, ibu harus segera memeriksa keadaan bayi. Secara psikologis ini penting, karena bayi akan mempunyai kesan bahwa ibunya memperhatikannya.

Bayi tidak cukup kenaikan berat badannya
ASI adalah makanan pokok bayi sampai usia 4-6 bulan. Karena itu bayi usia 4-6 bulan yang hanya mendapat ASI saja perlu dipantau berat badannya paling tidak sebulan sekali. Bila ASI cukup, berat badan anak akan bertambah (anak tumbuh) dengan baik. Untuk memantau kecukupan ASI dengan memantau berat badan, dapat digunakan Kartu Menuju Sehat untuk anak. Untuk mencegah berat badan yang tidak cukup naik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
– perhatikan apakah bayi termasuk bayi yang menyusu lama, atau cepat.
– ibu jangan segera menghentikan memberi ASI hanya karena merasa bayi sudah cukup lama menyusu, karena sebenarnya mungkin bayi masih mau terus menyusu.
– setelah bayi menyusu dan kemudian berhenti atau tidur, cobalah menyusukan kembali dengan menidurkan bayi telentang, gosok pelan perutnya atau gerakkan kaki atau tangannya, seringkali bayi akan bangun kembali dan menyusu lagi.
– perhatikan teknik menyusui ibu, apakah sudah benar, bila masih salah harus diperbaiki.
Bila berat badan anak tidak naik, konsultasikan ke dokter / dokter spesialis anak untuk mendapatkan saran selanjutnya.

Ibu bekerja
Sekarang banyak ibu yang bekerja, sehingga kemudian menghentikan menyusui dengan alasan pekerjaan. Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk ibu yang bekerja, sebagai berikut :
– sebelum berangkat kerja, susuilah bayi.
– ASI yang berlebihan dapat diperas atau dipompa, kemudian disimpan di lemari pendingin untuk diberikan pada bayi saat ibu bekerja.
– selama ibu bekerja, ASI dapat diperas atau dipompa dan disimpan di lemari pendingin di tempat kerja, atau diantar pulang.
– beberapa kantor atau instansi ada yang menyediakan tempat penitipan bayi dan anak. Ibu dapat memanfaatkannya untuk kelestarian menyusui.
– setelah ibu di rumah, perbanyak menyusui, termasuk pada malam hari.
– kalau anak sudah mendapatkan makanan pendamping ASI, saat ibu tidak ada di rumah dapat dimanfaatkan untuk memberikan makanan pendamping, sehingga kemungkinan menggunakan susu formula lebih kecil.
– perawat bayi dapat membawa bayi ke tempat ibu bekerja bila memungkinkan
– hendaknya ibu banyak beristirahat, minum cukup, makan gizi cukup, untuk menambah produksi ASI.
Petugas rumah sakit yang menitipkan anaknya di tempat penitipan tidak perlu kuatir menyusui bayinya, dengan alasan takut menularkan penyakit pada anaknya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
– tidak semua penyakit ditularkan melalui kontak langsung
– ibu yang sakit pun tetap dianjurkan untuk menyusui bayinya, apalagi ibu yang masih sehat dan bekerja sebagai petugas kesehatan.
– seharusnya ibu yang bekerja di bidang kesehatan mengerti tentang kebersihan diri setelah merawat pasien, untuk pencegahan infeksi / penularan.

4. Masalah menyusui pada keadaan khusus

Ibu melahirkan dengan sectio cesarea
Pada beberapa keadaaan persalinan diperlukan tindakan sectio cesarea. Persalinan dengan cara ini dapat menimbulkan masalah menyusui, baik terhadap ibu maupun bayi.
Ibu pasca sectio cesarea dengan anestesia umum tidak mungkin segera dapat menyusui bayinya, karena ibu belum sadar akibat pembiusan. Bila keadaan ibu mulai membaik / sadar, penyusuan dini dapat segera dimulai dengan bantuan tenaga perawat.
Bayi pun mengalami akibat yang serupa dengan ibu apabilatindakan tersebut menggunakan pembiusan umum, karena pembiusan yang diterima ibu dapat sampai ke bayi melalui plasenta, sehingga bayi yang masih lemah akibat pembiusan juga akan mendapat tambahan narkose yang terkandung dalam ASI, sementara ibu masih belum sadar. Jika ibu dan anak sudah sadar dan keadaan umumnya baik, dapat dilakukan perawatan gabung.
Posisi menyusui yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
– ibu dapat dalam posisi berbaring miring dengan bahu dan kepala yang ditopang bantal, sementara bayi disusukan dengan kakinya ke arah ibu.
– apabila ibu dapat duduk, bayi dapat ditidurkan di bantal di atas pangkuan ibu dengan posisi kaki bayi mengarah ke belakang ibu di bawah lengan ibu.
– dengan posisi memegang bola (“football position”) yaitu ibu telentang, bayi berada di ketiak ibu dengan kaki ke arah atas dan tangan ibu memegang kepala bayi.

Ibu sakit
Pada umumnya ibu sakit bukanlah alasan untuk menghentikan menyusui, karena bayi telah dihadapkan pada penyakit ibu sebelum gejala timbul dan dirasakan oleh ibu. Kecuali itu ASI justru akan melindungi bayi dari penyakit.
Ibu memerlukan bantuan orang lain untuk mengurus bayi dan keperluan rumah tangga, karena ibu juga memerlukan istirahat yang lebih banyak.
Sebaiknya ibu mengatakan pada dokter yang mengobati penyakitnya, bahwa ibu sedang menyusui, karena banyak obat yang bisa terkandung dalam ASI dan dapat mempengaruhi bayi.

Ibu menderita penyakit Hepatitis (HBsAg+) atau AIDS (HIV+)
Ibu yang menderita hepatitis atau AIDS tidak diperkenankan menyusui bayinya, karena dapat menularkan virus kepada bayinya melalui ASI.
AIDS pada anak muncul bersama-sama seperti AIDS pada orang dewasa. Pada orang dewasa, penularan HIV umumnya melalui 3 cara, yaitu hubungan seksual dengan penderita, penularan parenteral seperti transfusi darah, jarum suntik yang dipakai bersama penderita, serta perinatal dari ibu yang menderita kepada bayinya.
Pada anak, AIDS mempunyai hubungan spesifik dengan faktor-faktor risiko tertentu misalnya ibu yang kecanduan obat dan sering menggunakan suntikan, anak yang mendapat transfusi dari donor penderita, dan sebagainya. Apakah menyusui merupakan faktor risiko penularan AIDS pada anak masih merupakan hal kontroversial.
Dugaan peranan menyusui sebagai faktor risiko penularan AIDS pada bayi dan anak dimulai dari adanya laporan dari berbagai negara tentang ibu yang mendapat transfusi yang mengandung HIV pascapersalinan. Ternyata kemudian ditemukan bayi ibu tersebut terinfeksi juga oleh HIV. Bahkan ada laporan juga bahwa HIV dapat diisolasi dari ASI.
Meskipun demikian ada yang tidak sependapat terhadap pandangan ASI sebagai media penularan HIV. Masalahnya adalah pada laporan tersebut belum dapat dibuktikan bahwa ASI adalah memang satu-satunya kemungkinan penularan pada bayi atau anak tersebut. Juga ada laporan yang menyebutkan bahwa meskipun seorang ibu positif HIV, anaknya tidak. Pendapat ini didukung data epidemiologi, yaitu bahwa angka penularan perinatal yang dikumpulkan dari seluruh dunia sebesar 25-50%.
Masalahnya adalah apakah ibu dengan HIV positif akan tetap diperbolehkan menyusui bayinya. Adanya dugaan bahwa kemungkinan virus AIDS dapat ditularkan melalui ASI menyebabkan Centers for Disease Control (Amerika Serikat) melarang ibu yang terinfeksi HIV untuk menyusui bayinya, sebaliknya World Health Organization (WHO) memperbolehkan. Pandangan berbeda kedua lembaga ini disebabkan latar belakang yang berbeda. Di kebanyakan bagian dunia, ASI mempunyai peranan yang sangat penting karena mengandung zat gizi yang baik, mengandung zat antiinfeksi / kekebalan, serta ekonomis. Hal ini menjadi dasar kebijakan WHO. Sebaliknya di negara maju, biaya dan keberadaan susu formula memberikan alternatif untuk dapat lebih mempertimbangkan masalah keselamatan dan pencegahan penularan. Meskipun demikian, ada juga pandangan yang memperbolehkan ibu tetap menyusui bayinya, yaitu bila penularan sudah terjadi saat persalinan atau bahkan in-utero, justru menyusui itu akan melindungi bayi dari infeksi lain yang menyertai AIDS. Pendapat lain yang meninjau dari segi praktis, bahwa jika larangan menyusui hanya ditujukan pada ibu yang benar-benar positif terinfeksi, maka tidak akan banyak mempengaruhi angka menyusui, tetapi sulit dapat dipastikan pada semua golongan ibu bahwa seorang ibu benar-benar terinfeksi, akibatnya larangan menyusui juga akan ditujukan kepada ibu-ibu yang termasuk kelompok risiko padahal belum tentu terinfeksi, sehingga menjadi berlebihan. Kontroversi ini menjadi dasar sikap untuk sementara melarang ibu yang terinfeksi HIV menyusui bayinya, sampai diperoleh pandangan yang sepaham tentang hal ini.
Untuk penyakit hepatitis B, dasar pertimbangan yang dipakai serupa dengan pada penyakit AIDS. HBsAg ditemukan juga dalam ASI, tetapi belum pernah dilaporkan adanya penularan melalui ASI. Kolostrum dari ibu yang terinfeksi juga tidak mengandung virus hepatitis B. Penelitian yang dikerjakan pada pengidap virus hepatitis B, ternyata kadar HBsAg darah pada anak-anaknya tidak berbeda bermakna dibandingkan pada anak-anak dari ibu yang tidak mengandung HBsAg. Kecuali itu, dalam ASI terdapat zat protektif terutama limfosit yang menghasilkan IgA dan interferon yang dapat membunuh virus hepatitis B.

Bayi kembar
Ibu bayi kembar harus diyakinkan bahwa ia akan sanggup menyusui bayi-bayinya. Mula-mula ibu dapat menyusui seorang demi seorang, tetapi sebenarnya ibu dapat menyusui sekaligus berdua. Salah satu posisi yang mudah untuk menyusui ialah dengan posisi memegang bola (“football position”).
Jika ibu menyusui bersama-sama, bayi haruslah menyusu pada payudara secara berganti-ganti, jangan hanya menetap pada satu payudara saja. Alasannya ialah, kecuali memberikan variasi kepada bayi, juga kemampuan menyusu masing-masing bayi mungkin berbeda, sehingga harus dicapai perangsangan putting yang optimal.
Meskipun football position merupakan cara yang baik, ibu sebaiknya mencoba posisi lain secara berganti-ganti. Susuilah bayi secara lebih sering, selama waktu yang diinginkan masing-masing bayi, umumnya 15-30 menit setiap kali menyusui.
Kalau salah seorang bayi harus dirawat di rumah sakit, susukanlah bayi yang di rumah pada satu payudara, kemudian ASI diperas dari payudara lainnya untuk bayi yang dirawat itu.
Ibu sebaiknya mempunyai pembantu, agar tidak lelah.

Bayi prematur dan bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah dan prematur mempunyai masalah menyusui karena refleks mengisapnya masih lemah, karena itu susuilah bayi lebih sering, meski waktu menyusunya tidak lama. Mula-mula sentuhlah langit-langit bayi dengan jari ibu yang bersih untuk merangsang mengisap.
Jika bayi dirawat di rumah sakit, seringlah ibu mengunjungi, melihat, mengusap bayi dengan kasih sayang, jika mungkin susukan juga secara langsung, atau ASI dikeluarkan dengan tangan atau pompa kemudian diberikan menggunakan sendok atau cangkir.

Bayi sumbing
Pendapat yang mengatakan bahwa bayi sumbing tidak dapat menyusu tidaklah benar. Bilamana bayi mengalami sumbing pada palatum molle, bayi dapat menyusu tanpa kesulitan dengan posisi khusus. Demikian pula bila bayi menderita sumbing pada bibir. Keadaan yang sulit adalah bila sumbing terjadi pada bibir, langit-langit keras dan lunak (palatum durum dan palatum molle) sehingga bayi sulit menyusu dengan baik.
Ibu harus tetap mencoba menyusui bayinya, karena bayi masih mungkin bisa menyusu dengan kelainan seperti ini. Keuntungan khusus untuk keadaan ini ialah, bahwa menyusu melatih kekuatan otot rahang dan lidah, sehingga membantu perkembangan bicara. Kecuali itu menyusu mengurangi kemungkinan terjadinya otitis media, yang umumnya mudah terjadi pada bayi dengan palatoskisis.
Posisi menyusui yang dianjurkan pada bayi sumbing adalah :
– posisi bayi duduk
– pegang putting susu dan areola selagi menyusui, untuk membantu bayi mendapat ASI yang cukup.
– ibu jari ibu dapat dipakai sebagai penyumbat celah pada bibir bayi
– bila bayi menderita sumbing pada bibir dan langit-langit (labiopalatoskisis), ASI dikeluarkan dengan manual / pompa, kemudian diberikan dengan sendok / pipet, atau botol dengan dot yang panjang sehingga ASI dapat masuk dengan sempurna.
Dengan cara ini bayi akan belajar mengisap dan menelah ASI, menyesuaikan dengan irama pernapasannya.

Bayi sakit
Bayi yang sakit mungkin tidak diperbolehkan mendapatkan makanan per oral dengan indikasi khusus, tetapi pada umumnya bayi masih diperbolehkan mendapatkan ASI. Dengan demikian, ASI harus tetap diberikan. Bahkan pada penyakit tertentu seperti diare, pemberian ASI justru penting.
Bayi yang mendapat ASI jarang menderita mencret. Bayi normal buang air besar 6 kali sehari, lembek, hal itu bukanlah mencret. Tidak ada alasan sama sekali untuk menghentikan ASI karena telah terbukti bahwa ASI tidak merugikan bagi bayi yang mencret, justru memberikan banyak keuntungan.
Bayi yang mencret memerlukan cairan rehidrasi yang cukup, dan mungkin memerlukan tatalaksana khusus sesuai dengan keadaan anak. Telah dibuktikan, bahwa ASI dapat diterima dengan baik oleh anak yang muntah dan mencret. ASI mempunyai manfaat untuk anak dengan diare, karena :
– ASI dapat digunakan untuk mengganti cairan yang hilang.
– ASI mengandung zat-zat gizi yang berguna memenuhi kecukupan zat gizi selama diare yang dengan sendirinya diperlukan untuk penyembuhan dan pertumbuhan.
– ASI mengandung zat kekebalan terhadap kuman penyebab diare.
– ASI mengandung zat yang bermanfaat untuk pertumbuhan sel selaput lendir usus yang biasanya rusak akibat diare.
Anak menderita diare yang mendapat ASI, lamanya diare lebih pendek serta lebih ringan dibanding anak yang tidak mendapat ASI.
Kecuali diare, bayi seringkali menderita muntah. Muntah pada bayi dapat disebabkan berbagai hal. Tatalaksana khusus tergantung pada latar belakang penyebabnya. Menyusui bukanlah kontraindikasi untuk anak muntah, dan anak dengan muntah dapat menerima ASI dengan baik. Susuilah bayi dalam posisi duduk, sedikit-sedikit tetapi lebih sering. Buat bayi bersendawa seperti biasanya, tetapi jangan menggoyang-goyang badan bayi, karena dapat merangsang muntah kembali. Kalau ibu ingin menidurkan bayi, tidurkan dalam posisi tengkurap atau miring, karena posisi telentang memungkinkan bayi tersedak akibat muntah yang terjadi.

Bayi kuning / ikterik
Ikterus adalah manifestasi hiperbilirubinemia yang bisa dilihat, yaitu pada kulit dan sklera. Pada orang dewasa ikterus terjadi bila kadar bilirubin serum mencapai 2 mg/dl atau lebih, sementara pada bayi baru lahir ikterus jarang timbul sebelum kadar bilirubin serum mencapai 7 mg/dl.
Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, yang berasal dari hemoglobin, mioglobin, sitokrom, katalase dan triptofan pirolase. Sebagian besar berasal dari hemoglobin dalam eritrosit. Bayi baru lahir menghasilkan bilirubin kira-kira 8.5 mg/kgBB/hari, kira-kira 2 kali lipat produksi orang dewasa yang sekitar 3.6 mg/kgBB/hari. Perbedaan ini disebabkan jumlah eritrosit neonatus relatif per kgBB lebih banyak, umur eritrosit lebih pendek (2/3 umur eritrosit orang dewasa) dan produksi dari non-eritrosit juga lebih banyak.
Untuk membedakan ikterus neonatus fisiologis atau bukan, ada patokan dari Maisels (1981), yaitu bila ada salah satu faktor berikut berarti bukan suatu ikterus fisiologis :
– ikterus muncul pada 24 jam pertama.
– konsentrasi bilirubin serum total meningkat lebih dari 5 mg/dl per hari.
– konsentrasi bilirubin serum total lebih dari 12.9 mg/dl pada bayi cukup bulan dan di atas 15 mg/dl pada bayi prematur.
– konsentrasi bilirubin indirek serum di atas 1.5 – 2 mg/dl.
– ikterus berlangsung lebih dari 1 minggu pada bayi cukup bulan dan 2 minggu pada bayi prematur.
Publikasi terakhir di negara Barat menunjukkan kecenderungan peningkatan frekuensi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI dibandingkan bayi yang mendapat susu buatan. Kadar bilirubin serum apda hari 3-4 di atas 12 mg/dl dilaporkan antara 11% sampai 26%. Pada kelompok bayi yang mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia ini, kadar bilirubin direk, kadar Hb, jumlah retikulosit, hemogram, keseluruhannya dalam batas normal. Juga tidak ditemukan kelainan fisik maupun aktifitas bayi ataupun inkompatibilitas golongan darah.
Beberapa faktor penyebab dinyatakan berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi mendapat ASI yaitu :
– aktifitas senyawa pregnane-3-a, 20-b-diol yang ditemukan dalam ASI.
– kadar lipoprotein lipase yang tinggi pada ASI bayi hiperbilirubinemia, diduga sebagai penghambat aktifitas konjugasi bilirubin.
– enzim glukoronil transferase diduga menghambat fungsi kandungan asam lemak rantai panjang non-ester dalam ASI
– keadaan kekurangan cairan maupun kalori pada bayi mendapat ASI pada hari-hari pertama setelah lahir diduga sebagai faktor penyebab hiperbilirubinemia.
– kandungan enzim b-glukoronidase dalam ASI, diduga memegang peranan dalam terjadinya hiperbilirubinemia. Enzim ini mengubah bilirubin indirek dalam intestinum menjadi bilirubin direk untuk diabsorpsi kembali.
Faktor-faktor dugaan penyebab ini ternyata belum dapat dibuktikan. Dapat disimpulkan bahwa laporan kecenderungan kenaikan frekuensi hiperbilirubinemia pada bayi mendapat ASI dengan frekuensi yang bervariasi dan faktor penyebab belum dapat diketahui dengan pasti.
Dalam masalah penanganan hiperbilirubinemia pada bayi yang cukup bulan yang mendapat ASI dengan kadar bilirubin total tinggi sedangkan klinis keadaan umum bayi normal, tidak diperlukan tindakan yang dapat mengganggu kelestarian menyusui. Protokol dapat lebih mendorong ibu untuk menyusui lebih sering tanpa memikirkan suplementasi atau penghentian laktasi. Penghentian pemberian ASI karena ketakutan kern-icterus tidak beralasan, karena akan memberi kesan bahwa ASI menyebabkan hiperbilirubinemia dan akan mempengaruhi keyakinan ibu dalam menyusui.
Ada tiga hal yang sering dipermasalahkan oleh petugas kesehatan atau ibu pada pemberian ASI bayi cukup bulan, yaitu penurunan berat badan, ikterus dan kenaikan suhu badan yang diduga karena dehidrasi. Berdasarkan penelitian tidak terdapat hubungan antara penurunan berat badan, ikterus dan kenaikan suhu badan bayi. Ketiga keadaan ini bukan merupakan suatu masalah pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI.

Menyusui Dapat Mencegah Kanker Payudara

Penelitian membuktikan bahwa dengan menyusui dapat mengurangi bahaya terkena kanker payudara. Hal ini dapat terjadi jika seorang ibu menyusui anaknya dalam kurun waktu minimal setahun atau bahkan lebih. Dalam setahun, seorang ibu dapat menyusui lebih dari 1 anak, sebagai contoh; dengan menyusui 2 anak sekaligus dalam waktu 6 bulan, itu sama saja dengan menyusui 1 anak dalam waktu setahun.

Semakin lama seorang ibu menyusui anaknya, semakin kecil ia terkena resiko kanker payudara. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan bagaimana menyusui bisa mengurangi resiko munculnya kanker payudara.

Pertama, saat menyusui terdapat perubahan hormonal, salah satunya yaitu penurunan hormon esterogen, yang dipercaya sebagai pemicu munculnya kanker payudara.

Teori lainnya mengatakan bahwa selama menyusui terdapat perubahan fisik pada sel payudara, sehingga payudara yang digunakan untuk menyusui memiliki antibodi lebih baik dalam melawan berbagai macam polutan dan lemak yang tidak sehat.

Menyusui setelah terdiagnosa mengidap kanker payudara diperbolehkan dan dianggap aman apabila, selama masih memiliki payudara dan tidak sedang menjalani terapi penyembuhan (kemoterapi dan terapi hormon).

Bagi wanita yang dinyatakan hamil setelah terapi lumpectomy dan radiasi pada salah satu payudara, maka dapat meyiasatinya dengan menyusui mempergunakan payudara lain yang tidak sedang menjalani terapi. Biasanya payudara tersebut bisa memproduksi susu untuk memenuhi buah hati terkasih.

Tetapi bila ternyata dinyatakan harus menjalani kemoterapi saat sedang menyusui, maka sebaiknya hentikan kegiatan tersebut. Dikhawatirkan obat-obatan yang diminum akan mencemari air susu yang dikonsumsi oleh si kecil.

Tapi satu hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk meminimalisasikan bahaya dari kanker payudara adalah dengan pengetahuan yang memadai, pemeriksaan berkala, dan
pelaksanaan serangkaian pengobatan yang diperlukan

Kontrasepsi The lactational amenorrhea method (LAM)


Memberikan ASI ( Laktasi ) dan Pencegahan Kehamilan?

Biasanya Ibu yang memberikan ASI (lakstasi) akan mengalami keterlambatan untuk kembali mendapatkan menstruasinya.

Metode LAM – The lactational amenorrhea method (LAM) adalah salah satu teknik Kontrasepsi atau KB alamiah yang didasarkan pada Ibu memberikan ASI ekslusif akan menyebabkan tidak mendapatkan menstruasi.

Penelitian menyatakan bahwa wanita yang memberikan bayinya ASI secara ekslusif dan belum mendapatkan menstruasinya maka biasanya tidak akan mengalami kehamilan selama masa 6 bulan setelah melahirkan.

Bagaimana cara kerja ASI sebagai kontrasepsi ?

ASI berhubungan dengan pelepasan hormon -hormon yang diperlukan untuk merangsang terjadinya ovulasi, sehingga semakin sering seorang ibu menyusui bayinya (ASI ) maka semakin berkurang untuk terjadinya ovulasi.

Di luar negri karena kebiasaan memberikan ASI masih kurang dan biasanya mereka tidak memberikan ASI dalam jangka waktu lama, maka biasanya para ibu yang memberikan ASI ini akan menkombinasikan dengan metode kontrasepsi lainnya seperti kondom, IUD atau pil progestin / minipil ( pil untuk ibu menyusui).

Dan tentu saja para ibu yang memberikan ASI kepada bayinya akan merasa lebih aman dengan mengetahui bahwa kombinasi dari ASI ekslusif dengan metode kontrasepsi lainnya memberikan perlindungan yang lebih aman dibanding satu metode kontrasepsi saja.

Seberapa Efektif kah Laktasi / Pemberian ASI memberi perlindungan untuk pencegahan kehamilan?

Jika seorang ibu memberikan ASI kepada bayinya sesuai dengan semua criteria LAM, maka kemungkinan ibu untuk hamil dalam 6 bulan pertama setelah melahirkan hanya kurang dari 2 %. Bagaimanapun, untuk kebanyakan wanita, 1 dari 50 kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang tak terduga lebih besar resikonua dibanding mereka yang mengkombinasikan pemberian ASI / laktasi dengan metode kontrasepsi lainnya.

Metode barrier / pelindungan (seperti kondom atau diaphragma), IUD, dan kontreasepsi dengan pil untuk ibu menyusui (mini pil atau pil progestin) sangat cocok sebagai kontrasepsi untuk Ibu yang memberikan ASI.

Satu hal yang pasti Metode LAM tidak memberikan perlindungan apapun terhadap penyakit seksual menular. Jadi bila anda mempunyai resiko dengan Penyakit seksual menular, sebaiknya anda mneggunakan kondom.

Kriteria seorang ibu menggunakan Metode LAM:

Seorang ibu dinyatakan menggunakan metode LAM (Lactational Amenorrhoe Methode) / Cara KB melalui PEMBERIAN ASI secara ekslusif., bila memenuhi beberapa criteria dibawah ini:

– Seorang ibu memberikan ASI secara ekslusif , yang artinya semua kebutuhan susu hanya berasal dari ASI. Ibu memberikan ASI kepada bayinya setiap dibutuhkan baik siang dan malam, dan memberikan ASI setiap 4 jam pada siang hari dan setiap 6 jam pada malam hari. Menyusui bayi secara ekslusif ( bayi belum mendapatkan makanan tambahan).

– Ibu BELUM mendapatkan Menstruasi. Sekali ibu sudah mendapatkan menstruasi, itu menandakan bahwa ibu sudah memulai proses ovulasi ( sel telur matang) kembali.

– Bayi belum berumur 6 bulan. Walaupun pada beberapa wanita tetap tidak mendapatkan menstruasi untuk beberapa bulan, dan memang tidak dapat diperkirakan kapan menstruasi akan terjadi.

Oleh karena wanita biasanya mengalami ovulasi sebelum mereka mendapatkan menstruasi, maka terdapat resiko ibu dapat mengalami kehamilan kembali sebelum menstruasi mulai kembali.

Dan pada beberapa kasus, kehamilan dapat tetap terjadi meskipun ibu memberikan ASI ekslusif, yang artinya LAM tidak efektif 100 %, tetapi memang seorang ibu yang memberikan ASI Ekslusif akan menjadi lebih tidak subur selama 6 bulan pertama setelah melahirkan.

Untuk ASI yang dipompa apakah Ibu dapat menggunakan metode LAM ?

TIdak. Karena isapan dari bayi pada putting susu mempunyai peranan penting dalam menekan ovulasi dan mengeluarkan ASI dengan memompa tidak seefektif isapan dari bayi.

Tips:

Berikan Asi sesering mungkin, karena semakin sering Ibu memberikan ASI dan jarak menyusui yang semakin dekat, adalah terbaik untuk metode LAM ini.

Ibu yang kembali bekerja dan berpisah dengan bayinya sebaiknya perlu untuk mengunakan metode kontrasepsi lainnya untuk melindungi dari kehamilan.

Ibu yang sudah mendapatkan menstruasi pertamanya setelah melahirkan sebaiknya menggunakan metode kontrasepsi lainnya untuk menlindungi dari kehamilan.

Bila bayi sudah mulai mendapatkan tambahan makanan lainnya, atau bayi sudah berusia 6 bulan, sebaiknya perlu untuk mengunakan metode kontrasepsi lainnya untuk melindungi dari kehamilan.

Bicarakanlah dengan dokter atau tenaga medis anda, untuk mendapatkan informasi tentang kontrasepsi yang sesuai untuk anda.

© Dr. Suririnah –www.infoibu.com

Penyapihan / Sapih

DISALIN DARI http://creasoft.wordpress.com

Definisi menyapih

Menyapih adalah proses berhentinya masa menyusui secara berangsur angsur atau sekaligus. Proses itu dapat disebabkan oleh si anak itu sendiri untuk berhenti menyusu atau bisa juga dari sang ibu untuk berhenti menyusui anaknya. Atau dari keduanya dengan berbagai alasan (NN, 2007).

Menyapih adalah proses bertahap yaitu mula-mula dengan mengurangi frekuensi pemberian ASI, sampai dengan berhentinya proses pemberian ASI (Carnain, 2007) .

Cara-cara menyapih yang benar

Beberapa ahli laktasi menyarankan hal hal berikut ini:

a. Lakukan proses menyapih ini secara perlahan. Misalnya dengan mengurangi frekuensi menyusu dari 5 kali menjadi 3 atau 4 kali. Lakukan bertahap sampai akhirnya berhenti sama sekali.

b. Alihkan perhatian si anak dengan melakukan hal lain. Bernyanyilah dan bermain bersamanya, sehingga anak tidak ingat saatnya menyusu pada mama.

c. Komunikasikan hal ini dengan anak. Jangan takut anak anak tidak mengerti dengan keinginan anda untuk menyapihnya. Berikan pengertian yang baik dan dengan komunikasi yang mudah dicerna olehnya. Walau masih kecil tapi ia mengerti kata kata dari orang dilingkungannya.

d. Jangan menyapih anak ketika ia tidak sehat, atau sedang merasa sedih, kesal atau marah. Hal itu akan membuat anak anda merasa anda tidak menyayangi dirinya.

e. Hindari menyapih anak dari menyusui ke pacifier (empeng) atau botol susu. Selalu bina komunikasi dengan sang anak. Mintalah bantuan dari sang Ayah untuk melengkapi komunikasi dengan anak dan sebagai figure pendamping ibu.

f. Jangan menyapihnya secara mendadak dan langsung, hal itu akan membuat perasaan anak anda terguncang.

g. Jangan menipu anak anda dengan cara mengoleskan jamu di putting saat menyusui atau apapun yang membuat rasanya tidak nyaman. Pemaksaan seperti itu akan membuat hubungan batin anak dan ibu menjadi rusak.

Waktu penyapihan yang tepat

Tidak pernah ada waktu yang pasti kapan sebaiknya anak disapih dari ibunya. Menurut WHO, masa pemberian ASI diberikan secara eksklusif 6 bulan pertama, kemudian dianjurkan tetap diberikan setelah 6 bulan berdampingan dg makanan tambahan hingga umur 2 th atau lebih. Ada juga ibu ibu yang menyapih anaknya ketika usia 1 -2 tahun, bahkan ada yang diusia 4 tahun.

Tidak benar jika anak yang terlalu lama disusui akan membuatnya manja dan tidak mandiri. ASI akan membuat anak dekat dengan orang tuanya dan hal itu memang sangat dibutuhkan sang anak dan membuatnya merasa penuh dengan kasih sayang. Kemandirian adalah hal yang diajarkan oleh orang tuanya, bukan karena selalu disusui ASI (NN, 2007).

Hal – hal yang dilarang dalam menyapih

a. Mengoleskan Obat Merah Pada Puting

Selain bisa menyebabkan anak mengalami keracunan, juga membuat anak belajar bahwa puting ibu ternyata tidak enak, bahkan bisa membuatnya sakit. Keadaan ini akan semakin parah jika ibu melakukannya secara tiba-tiba. Si kecil akan merasa ditolak ibunya. Dampak selanjutnya mudah diduga, anak akan merasa ibu tidak mencintainya.

Gaya kelekatan yang muncul selanjutnya adalah avoidance (menghindar dalam suatu hubungan interpersonal). Hal ini dapat memengaruhi perkembangan kepribadian anak. Ia akan mengalami kesulitan untuk menjalin suatu hubungan intensif dengan orang lain. Hal ini terjadi karena di masa kanak-kanak ia merasa ditolak oleh orang tua, dalam hal ini ibunya.

b. Memberi Perban/Plester Pada Puting

Dibanding cara nomor 1, cara ini akan terasa lebih menyakitkan buat anak. Jika diberi obat merah, anak masih bisa menyentuh puting ibunya. Tetapi kalau sudah diperban/diplester, anak belajar bahwa puting ibunya adalah sesuatu yang tak bisa dijangkau.

c. Dioleskan Jamu, Brotowali, Atau Kopi Supaya Pahit

Awalnya mungkin anak tak akan menikmati, tetapi lama-kelamaan anak bisa menikmatinya dan malah bergantung pada rasa pahit tersebut. Mengapa? Karena ia belajar, meskipun pahit tetapi masih tetap bercampur dengan puting ibunya.

Dampaknya, anak bisa mengembangkan suatu kepribadian yang ambivalen, dalam arti ia tidak mengerti apakah ibu sebetulnya mencintainya atau tidak. Bunda masih memberikan ASI, tapi kok tidak seperti biasanya, jadi pahit.

Parahnya lagi, kepribadian ambivalen bukan kepribadian yang menyenangkan. Anak akan mengembangkan kecemasan dalam hubungan interpersonal nantinya.

d. Menitipkan Anak ke Rumah Kakek-Neneknya

Kehilangan ASI saja sudah cukup menyakitkan, apalagi ditambah kehilangan figur ibu. Ingat lo, anak kecil umumnya belum memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Jadi, dapat dibayangkan kondisi seperti ini bisa mengguncang jiwa anak, sehingga tak menutup kemungkinan anak merasa ditinggalkan.

Tentunya hal itu tak mudah bagi anak karena ada dua stressor (sumber stres) yang dihadapinya, yakni ditinggalkan dan harus beradaptasi. Jadi jangan kaget, jika setelahnya anak pun butuh penyesuaian lagi terhadap ibunya. Malah akan timbul ketidakpercayaan anak terhadap ibu.

e. Selalu Mengalihkan Perhatian Anak Setiap Menginginkan ASI

Meski masih batita, si kecil tetap bisa merasakan penolakan ibu yang selalu mengalihkan perhatiannya saat ia menginginkan ASI. Kondisi ini juga membuat anak belajar berambivalensi. Misal, ibu selalu mengajak anak bermain setiap kali minta ASI. Tentu anak akan bertanya-tanya, ”Bunda sayang aku enggak sih, kok aku enggak dikasih ASI? Tetapi kalau tidak sayang, kok masih ngajak aku main?”

f. Selalu Bersikap Cuek Setiap Anak Menginginkan ASI

Anak jadi bingung dan bertanya-tanya, mengapa dirinya diperlakukan seperti itu. Dampaknya, anak bisa merasa tak disayang, merasa ditolak, sehingga padanya berkembanglah rasa rendah diri.

(Lianawati, 2007).

Dampak penyapihan ASI usia kurang dari 6 bulan

a. Menyebabkan hubungan anak dan ibu berkurang keeratannya karena proses bounding etatman terganggu.

b. Insiden penyakit infeksi terutama diare meningkat.

c. Pengaruh gizi yang mengakibatkan malnutrisi pada anak.

d. Mengalami reaksi alergi yang menyebabkan diare, muntah, ruam dan gatal-gatal karena reaksi dari sistem imun.

( Hegar, Badriul, 2006 )

Inisiasi Menyusui Dini

disadur dari http://creasoft.wordpress.com

Contoh Inisiasi yang salah :

Tidak Perlu Memaksakan bayi yang belum siap untuk inisiasi

bayi yang sama menunjukan kesiapan untuk minum 30-40 menit setelah dilahirkan

TATALAKSANA INISIASI MENYUSU DINI

  1. Anjurkan suami atau keluarga mendampingi saat melahirkan
  2. Hindari penggunaan obat kimiawi dalam proses persalinan.
  3. Segera keringkan bayi tanpa menghilangkan lapisan lemak putih (verniks).
  4. Dalam keadaan ibu dan bayi tidak memakai baju, tengkurapkan bayi di dada atau perut ibu agar terjadi sentuhan kulit ibu dan bayi dan kemudian selimuti kedua agar tidak kedinginan.
  5. Anjurkan ibu memberikan sentuhan kepada bayi untuk merangsang bayi mendekati puting.
  6. Biarkan bayi bergerak sendiri mencari puting susu ibunya.
  7. Biarkan kulit bayi bersentuhan langsung dengan kulit ibu selama minimal satu jam walaupun proses menyusu telah terjadi. Bila belum terjadi proses menyusu hingga 1 jam, biarkan bayi berada di dada ibu sampai proses menyusu pertama selesai
  8. Tunda tindakan lain seperti menimbang, mengukur, dan memberikan suntikan vitamin K1 sampai proses menyusu pertama selesai.
  9. Proses menyusu dini dan kontak kulit ibu dan bayi harus diupayakan meskipun ibu melahirkan dengan cara operasi atau tindakan lain.
  10. Berikan ASI saja tanpa minuman atau cairan lain, kecuali ada indikasi medis yang jelas.

Perubahan APN setelah penerapan IMD dapat anda download disini

Hubungan Seks Saat Menyusui


Disadur dari : Koran Sindo Minggu, 18/02/2007

BANYAK pasangan muda merasa kehidupan seksualnya berubah setelah mereka memiliki anak. Apalagi pada bulan-bulan pertama pascamelahirkan, kegiatan mengurus bayi dan menyusui membuat istri lebih banyak mencurahkan perhatian kepada si kecil dibandingkan suami.Apakah sebenarnya kegiatan menyusui dapat memengaruhi kegiatan seksual suami-istri? Masa pascamelahirkan mungkin menjadi masa sulit bagi pasangan suami-istri (pasutri) karena segera setelah si kecil lahir, mereka disibukkan dengan kebutuhan-kebutuhan sang buah hati selama 24 jam.

Waktu dan tenaga seakan tercurah hanya untuk si kecil sehingga sulit rasanya mencari waktu untuk memenuhi kebutuhan biologis. Beberapa bulan pertama setelah melahirkan, hormon pada diri wanita akan diprogram ulang untuk menyusui dan mengasuh bayi. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Divisi Uroginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi, FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo dr Budi Imam Santoso SpOG(K). Menurut Budi, secara fisik kondisi ibu pada masa pascamelahirkan masih mengalami kelelahan akibat proses kelahiran.

Ditambah dengan kegiatan menyusui bayi sekitar dua jam sekali setiap hari. Ibu menyusui sering tidak cukup istirahat,padahal menyusui memberi kesempatan ibu untuk beristirahat dan memulihkan tenaga. Isapan bayi saat menyusu akan membuat kelenjar pituitari di otak ibu mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon ini membuat ibu merasa rileks, dan kadang mengantuk sehingga biasanya ibu

bisa beristirahat dengan baik,sekalipun saat ia menyusui di malam hari. Kondisi ini tentunya sangat baik untuk membantu memulihkan tenaga ibu yang terkuras untuk persalinan. Sayangnya, ibu dan orangorang di sekitar ibu sering tidak menyadari hal ini.Tiap kali selesai menyusui, ibu bukannya beristirahat melainkan melakukan berbagai kegiatan yang menguras energi. Dengan demikian ibu menjadi sangat kelelahan dan tidak berminat melakukan hubungan intim. ”Pada prinsipnya tidak ada masalah untuk melakukan hubungan seksual setelah selesai masa nifas yaitu 40 hari. Hormon prolaktin tidak akan membuat ibu kehilangan gairah seksual,” ujar Budi.

Dia menambahkan, beragamnya perilaku seksual bisa terjadi pada ibu-ibu pascamelahirkan yang menyusui. Sebagian merasa tidak bergairah melakukan kegiatan seksual. Sisanya merasakan hasrat seksual yang tinggi. ”Intinya ialah permasalahan psikologis ibu untuk melakukan hubungan seksual jika memang ibu sudah tidak mengalami luka pascapersalinan, maka tidak masalah,”tegas dia. Budi menepis anggapan bahwa menyusui dapat menurunkan hormon-hormon tertentu yang berpengaruh pada gairah seksual. Umumnya, hormonhormon ibu akan kembali normal setelah proses persalinan. Hal senada diungkapkan Dr dr Dwiana Ocviyanti SpOG (K), staf pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM.

Dia mengungkapkan bahwa kegiatan seksual ibu pada masa menyusui pada dasarnya tergantung dari kondisi fisik. Jika ditelusuri lebih lanjut, ada dua macam penyebab yang mungkin menurunkan gairah seksual ibu pascamelahirkan. Penyebab secara langsung seperti luka pada persalinan normal atau operasi dan penyebab tidak langsung seperti depresi, babyblues,atau kelelahan ketika merawat bayi. (ririn sjafriani)

Teknik Menyusui Pada Ibu Bekerja dan Teknik Memerah ASI

  1. Mulai menabung ASI 1 bulan sebelum kerja
  2. ASI dapat disimpan d idalam lemari es selama 3 hari dan dalam freezer selama 3 bulan
  3. Di tempatkerja, perahsetiap 3 jam
  4. Bawacooler boxASI yang belum diperah, tidakbasi

“Menyusui adalah hadiah yang sangat berharga  yang dapat diberikan oleh seorang ibu  pada bayinya. Pada keadaan miskin, menyusui mungkin merupakan pemberian  satu-satunya, pada keadaan sakit menyusui dapat merupakan pemberian  yang menyelamatkan jiwanya”

Berilah ASI sejak dini, biarkan dia menemukan sendiri sumber kehidupannya

Teknik Memerah ASI

  1. Sebelumnya(sebaiknya) payudara dipijat dahulu
  2. Memutar dengan 3 jari tengah
  3. Menyisir dengan  jari-jari/ sisir (stroking)
  4. Cuci tangan
  5. Duduk/ berdiri dengan nyaman, penampung dekat payudara

  1. Jemari dan jempol di sisi areola; tekan kearah dalam mengarah ke dinding dada
  2. Pencet di belakang putting susu dan areola dengan jempol dan jemari
  3. Lakukan pula dari arah samping

Produksi ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya

ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar  payudara wanita melalui proses laktasi. ASI terdiri dari berbagai komponen gizi dan  non gizi. Komposisi ASI tidak sama selama periode menyusui, pada akhir menyusui  kadar lemak 4-5 kali dan kadar protein 1,5 kali lebih tinggi daripada awal menyusui.  Juga terjadi variasi dari hari ke hari selama periode laktasi. Keberhasilan laktasi  dipengaruhi oleh kondisi sebelum dan saat kehamilan. Kondisi sebelum  kehamilan  ditentukan oleh perkembangan payudara saat lahir dan saat pubertas. Pada saat  kehamilan yaitu trimester II payudara mengalami pembesaran karena pertumbuhan  dan difrensiasi dari lobuloalveolar dan sel epitel payudara. Pada saat pembesaran  payudara ini hormon prolaktin dan laktogen placenta aktif bekerja yang berperan  dalam produksi ASI (Suharyono, 1990).
Sekresi ASI diatur oleh hormon prolaktin dan oksitosin. Prolaktin  menghasilkan ASI dalam alveolar dan bekerjanya prolaktin ini dipengaruhi  oleh lama dan frekuensi pengisapan ( suckling). Hormon oksitosin disekresi  oleh kelenjar pituitary sebagai respon adanya suckling yang akan  menstimulasi sel-sel mioepitel untuk mengeluarkan ( ejection) ASI.
Hal ini  dikenal dengan milk ejection reflex atau let down reflex yaitu mengalirnya

ASI dari simpanan alveoli ke lacteal sinuses sehingga dapat dihisap bayi  melalui puting susu.
Terdapat tiga bentuk ASI dengan karakteristik dan komposisi berbeda yaitu  kolostrum, ASI transisi, dan ASI matang (mature). Kolostrum adalah cairan yang  dihasilkan oleh kelenjar payudara setelah melahirkan (4-7 hari) yang berbeda  karakteristik fisik dan komposisinya dengan ASI matang dengan volume 150 – 300  ml/hari. ASI transisi adalah ASI yang dihasilkan setelah kolostrum (8-20 hari)
dimana kadar lemak dan laktosa lebih tinggi dan kadar protein, mineral lebih rendah.

ASI matang adalah ASI yang dihasilkan ³ 21 hari setelah melahirkan dengan  volume bervariasi yaitu 300 – 850 ml/hari tergantung pada besarnya stimulasi saat  laktasi. Volume ASI pada tahun pertama adalah 400 – 700 ml/24 jam, tahun kedua  200 – 400 ml/24 jam, dan sesudahnya 200 ml/24 jam. Dinegara industri rata-rata  volume ASI pada bayi dibawah usia 6 bulan adalah 750 gr/hari dengan kisaran 450 –  1200 gr/hari (ACC/SCN, 1991). Pada studi Nasution.A (2003) volume ASI bayi  usia 4 bulan adalah 500 – 800 gr/hari, bayi usia 5 bulan adalah 400 – 600 gr/hari,  dan bayi usia 6 bulan adalah 350 – 500 gr/hari.

Produksi ASI dapat meningkat atau menurun tergantung pada  stimulasi pada kelenjar payudara terutama pada minggu pertama laktasi.  Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI antara lain :

1. Frekuensi Penyusuan

Pada studi 32 ibu dengan bayi prematur disimpulkan bahwa produksi
ASI akan optimal dengan pemompaan ASI lebih dari 5 kali per hari selama  bulan pertama setelah melahirkan. Pemompaan dilakukan karena bayi  prematur belum dapat menyusu (Hopkinson et al, 1988 dalam ACC/SCN,  1991). Studi lain yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan
menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 ± 3 kali perhari selama 2  minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang  cukup (de Carvalho, et al, 1982 dalam ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini  direkomendasikan penyusuan paling sedikit 8 kali perhari pada periode awal  setelah melahirkan. Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan  stimulasi hormon dalam kelenjar payudara.

2. Berat Lahir

Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir bayi dengan volume ASI.  Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan  dibanding bayi yang lebih besar. Berat bayi pada hari kedua dan usia 1 bulan sangat  erat berhubungan dengan kekuatan mengisap yang mengakibatkan perbedaan intik  yang besar dibanding bayi yang mendapat formula. De Carvalho (1982) menemukan  hubungan positif berat lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui selama 14
hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan  mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi yang berat lahir normal (> 2500 gr).  Kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah ini meliputi frekuensi dan lama  penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal yang akan  mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi ASI.

3. Umur Kehamilan saat Melahirkan

Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intik ASI. Hal ini disebabkan  bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan  tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah daripada  bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan mengisap pada bayi prematur  dapat disebabkan berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ.

4. Umur dan Paritas

Umur dan paritas tidak berhubungan atau kecil hubungannya dengan  produksi ASI yang diukur sebagai intik bayi terhadap ASI. Lipsman et al (1985)  dalam ACC/SCN (1991) menemukan bahwa pada ibu menyusui usia remaja dengan  gizi baik, intik ASI mencukupi berdasarkan pengukuran pertumbuhan 22 bayi dari  25 bayi. Pada ibu yang melahirkan lebih dari satu kali, produksi ASI pada hari  keempat setelah melahirkan lebih tinggi dibanding ibu yang melahirkan pertama kali  (Zuppa et al, 1989 dalam ACC/SCN, 1991), meskipun oleh Butte et al (1984) dan  Dewey et al (1986) dalam ACC/SCN, (1991) secara statistik tidak terdapat  hubungan nyata antara paritas dengan intik ASI oleh bayi pada ibu yang gizi baik.

5. Stres dan Penyakit Akut

Ibu yang cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi  produksi ASI karena menghambat pengeluaran ASI. Pengeluaran ASI akan  berlangsung baik pada ibu yang merasa rileks dan nyaman. Studi lebih lanjut  diperlukan untuk mengkaji dampak dari berbagai tipe stres ibu khususnya  kecemasan dan tekanan darah terhadap produksi ASI. Penyakit infeksi baik yang
kronik maupun akut yang mengganggu proses laktasi dapat mempengaruhi produksi
ASI.

6. Konsumsi Rokok

Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormon  prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan  adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin. Studi  Lyon,(1983); Matheson, (1989) menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan  penyapihan dini meskipun volume ASI tidak diukur secara langsung. Meskipun  demikian pada studi ini dilaporkan bahwa prevalensi ibu perokok yang masih
menyusui 6 – 12 minggu setelah melahirkan lebih sedikit daripada ibu yang tidak  perokok dari kelompok sosial ekonomi sama, dan bayi dari ibu perokok mempunyai  insiden sakit perut yang lebih tinggi. Anderson et al (1982) mengemukakan bahwa  ibu yang merokok lebih dari 15 batang   rokok/hari mempunyai prolaktin 30-50%  lebih rendah pada hari pertama dan hari ke 21 setelah melahirkan dibanding dengan  yang tidak merokok.

7. Konsumsi Alkohol

Meskipun minuman alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu  merasa lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain  etanol dapat menghambat produksi oksitosin. Kontraksi rahim saat penyusuan  merupakan indikator produksi oksitosin. Pada dosis etanol 0,5-0,8 gr/kg berat badan  ibu mengakibatkan kontraksi rahim hanya 62% dari normal, dan dosis 0,9-1,1 gr/kg  mengakibatkan kontraksi rahim 32% dari normal (Matheson, 1989).

8. Pil Kontrasepsi

Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan  dengan penurunan volume dan durasi ASI (Koetsawang, 1987 dan Lonerdal, 1986  dalam ACC/SCN, 1991), sebaliknya bila pil hanya mengandung progestin maka  tidak ada dampak terhadap volume ASI (WHO Task Force on Oral Contraceptives,  1988 dalam ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini WHO merekomendasikan pil  progestin untuk ibu menyusui yang menggunakan pil kontrasepsi.

Ada dua cara untuk mengukur produksi ASI yaitu penimbangan berat badan  bayi sebelum dan setelah menyusui; dan pengosongan payudara. Kurva berat badan  bayi merupakan cara termudah untuk menentukan cukup tidaknya produksi ASI  (Packard, 1982). Dilihat dari sumber zat gizi dalam ASI maka ada 3 sumber zat gizi  dalam ASI yaitu : 1) disintesis dalam sel secretory payudara dari precursor yang ada  di plasma; 2) disintesis oleh sel-sel lainnya dalam payudara; 3) ditransfer secara
langsung dari plasma ke ASI (Butte, 1988). Protein, karbohidrat, dan lemak berasal  dari sintesis dalam kelenjar payudara dan transfer dari plasma ke ASI, sedangkan  vitamin dan mineral berasal dari transfer plasma ke ASI. Semua fenomena fisiologi  dan biokimia yang mempengaruhi komposisi plasma dapat juga mempengaruhi  komposisi ASI. Komposisi ASI dapat dimodifikasi oleh hormon yang  mempengaruhi sintesis dalam kelenjar payudara (Vaughan, 1999).

Aspek gizi ibu yang dapat berdampak terhadap komposisi ASI adalah intik  pangan aktual, cadangan gizi, dan gangguan dalam penggunaan zat gizi. Perubahan  status gizi ibu yang mengubah komposisi ASI dapat berdampak positif, netral, atau  negatif terhadap bayi yang disusui. Bila asupan gizi ibu berkurang tetapi kadar zat  gizi dalam ASI dan volume ASI tidak berubah maka zat gizi untuk sintesis ASI  diambil dari cadangan ibu atau jaringan ibu. Komposisi ASI tidak konstan dan  beberapa faktor fisiologi dan faktor non fisiologi berperan secara langsung dan tidak  langsung. Faktor fisiologi meliputi umur penyusuan, waktu penyusuan, status gizi  ibu, penyakit akut, dan pil kontrasepsi. Faktor non fisiologi meliputi aspek  lingkungan, konsumsi rokok dan alkohol (Matheson, 1989).