bagi para pengunjung kuliahbidan.wordpress.com; mohon maaf karena kami pengelola lagi vakum selama 6 bulan, Insya Allah kami akan eksis lagi mulai tanggal 15 Oktober 2010, terima kasih…..
Filed under: kuliahbidan | 1 Comment »
bagi para pengunjung kuliahbidan.wordpress.com; mohon maaf karena kami pengelola lagi vakum selama 6 bulan, Insya Allah kami akan eksis lagi mulai tanggal 15 Oktober 2010, terima kasih…..
Filed under: kuliahbidan | 1 Comment »
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, dimana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan dan penerangan-penerangan yang keliru
Berpijak dari pendapat Notoatmojo dan Soekanto, pengetahuan adalah hasil tahu dan kesan didalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca inderanya.
Dalam masa nifas ibu membutuhkan gizi yang cukup. Gizi pada ibu menyusui sangat erat kaitannya dengan produksi air susu, yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang bayi. Kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi ibu sangat berpengaruh pada jumlah ASI yang dihasilkan, ibu menyusui disarankan memperoleh tambahan zat makanan 800 Kkal yang digunakan untuk memproduksi ASI dan untuk aktifitas ibu itu sendiri
Sebuah teori, maternal depletion syndrome menyatakan bahwa status gizi ibu setelah peristiwa kehamilan dan persalinan, kemudian diikuti masa laktasi, tidak segera pulih dan ditambah lagi pemenuhan gizi yang kurang, jumlah paritas yang banyak dengan jarak kehamilan yang pendek, akan menyebabkan ibu mengalami drainage gizi. Akibatnya ibu akan berada dalam status gizi yang kurang dengan akibat lebih lanjut pada ibu dan anaknya. Oleh karena itu, ibu yang menyusui anaknya harus diberikan pengetahuan tentang gizi.
Soal gizi ibu hamil maupun nifas, di mana bila gizi yang dibutuhkan, hampir mirip, tetap berpedoman pada 4 sehat 5 sempurna dengan menu seimbang. Kuantitas dan kualitas makanan ibu yang baik pada saat hamil maupun mana nifas akan mempengaruhi produksi ASI. Jika keadaan gizi ibu baik secara kuantitas, akan terproduksi ASI lebih banyak daripada ibu dengan gizi kurang. Sedangkan secara kualitas tidak banyak dipengaruhi kecuali lemak, vitamin dan mineral.
Pada dasarnya menu untuk ibu hamil dan menyusui porsi makan baik nasi maupun lauk pauknya lebih banyak daripada sebelum hamil dan menyusui. Pesan penting bagi ibu menyusui antara lain (a) banyak makan sayuran yang beragam dan banyak minum sedikitnya 8 gelas sehari, (b) pemakaian bumbu jangan terlalu merangsang, tidak pedas, dan (c) tetap memperhatikan kecukupan gizi rata-rata dianjurkan (2900 k.kal.)
Gizi Ibu dalam masa Nifas
Ibu menyusui harus :
– mengkomsumsi tambahan 500 kalori setiap hari
– makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan vitamin yang cukup
– minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (anjurkan ibu minum setiap kali menyusui)
– Pil zat besi (sulfas/glukonas ferrosus) harus diminum untuk menambah xat gizi setidaknya selama 40 haro pasca bersalin (setelah melahirkan)
– Minum kapsul vitamin A (200.000 unit) agar bisa memberikan vitamin A kepada anaknya melalui ASI (Air Susu Ibu)-nya
Filed under: kuliahbidan | Leave a comment »
Aborsi Pada Remaja download
Abortus download
AKB (Angka Kematian Bayi) download
Campak (Morbili) download
Candidiasis Vulvovaginal download
Condiloma Akuminata download
Condiloma Akuminata2 download
Diare (Gastroentritis) download
Diet Food Combining download
Diet Komplikasi Kehamilan Hiperemesis dan Pre Eklampsia download
Epidemiologi Kesehatan Reproduksi download
Gender (Partisipasi Pria-Keluarga dalam KB) download
Gizi Bayi download
Gizi Ibu Menyusui download
Gizi Pada Ibu Menyusui download
Gizi Pada Kehamilan download
Gonore download
HIV/AIDS download
Intervensi Gizi, Morbiditas dan Mortalitas Anak download
KB download
KB-NON MKJP download
Kebutuhan_Zat_Besi (Fe)_Bumil download
Kekerasan Pada Remaja (PERKOSAAN) download
Kekerasan Terhadap Anak download
Kekerasan Terhadap Perempuan download
Kesehatan Reproduksi Remaja download
Komunikasi Kesehatan download
Konseling ISR download
Kontrasepsi Darurat download
Malaria download
Malnutrisi Antar Generasi download
Manfaat ASI download
MP-ASI download
Penatalaksanaan Gizi Pada Komplikasi Kehamilan DM dan Hipertensidownload
Penyakit Menular Seksual download
Penyimpangan Perilaku Makan (BULIMIA) download
Perilaku Seksual Pada Ibu Hamil download
Perkosaan download
Pertusis & Tetanus Neonatorum download
PMS Sifilis download
Posyandu-Lansia download
Standar Pelayanan KB download
Filed under: kuliahbidan, Makalah | Leave a comment »
Filed under: kuliahbidan | 12 Comments »
Untuk melakukan asuhan persalinan normal dirumuskan 58 langkah asuhan persalinan normal sebagai berikut (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2003):
1. Mendengar & Melihat Adanya Tanda Persalinan Kala Dua.
2. Memastikan kelengkapan alat pertolongan persalinan termasuk mematahkan ampul oksitosin & memasukan alat suntik sekali pakai 2½ ml ke dalam wadah partus set.
3. Memakai celemek plastik.
4. Memastikan lengan tidak memakai perhiasan, mencuci tangan dgn sabun & air mengalir.
5. Menggunakan sarung tangan DTT pada tangan kanan yg akan digunakan untuk pemeriksaan dalam.
6. Mengambil alat suntik dengan tangan yang bersarung tangan, isi dengan oksitosin dan letakan kembali kedalam wadah partus set.
7. Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas basah dengan gerakan vulva ke perineum.
8. Melakukan pemeriksaan dalam – pastikan pembukaan sudah lengkap dan selaput ketuban sudah pecah.
9. Mencelupkan tangan kanan yang bersarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, membuka sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.
10. Memeriksa denyut jantung janin setelah kontraksi uterus selesai – pastikan DJJ dalam batas normal (120 – 160 x/menit).
11. Memberi tahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik, meminta ibu untuk meneran saat ada his apabila ibu sudah merasa ingin meneran.
12. Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran (Pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi setengah duduk dan pastikan ia merasa nyaman.
13. Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat untuk meneran.
14. Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi nyaman, jika ibu belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam 60 menit.
15. Meletakan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu, jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5 – 6 cm.
16. Meletakan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong ibu
17. Membuka tutup partus set dan memperhatikan kembali kelengkapan alat dan bahan
18. Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.
19. Saat kepala janin terlihat pada vulva dengan diameter 5 – 6 cm, memasang handuk bersih untuk menderingkan janin pada perut ibu.
20. Memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin
21. Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi luar secara spontan.
22. Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparental. Menganjurkan kepada ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut gerakan kepala kearah bawah dan distal hingga bahu depan muncul dibawah arkus pubis dan kemudian gerakan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang.
23. Setelah bahu lahir, geser tangan bawah kearah perineum ibu untuk menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang tangan dan siku sebelah atas.
24. Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri punggung kearah bokong dan tungkai bawah janin untuk memegang tungkai bawah (selipkan ari telinjuk tangan kiri diantara kedua lutut janin)
25. Melakukan penilaian selintas :
a. Apakah bayi menangi kuat dan atau bernapas tanpa kesulitan?
b. Apakah bayi bergerak aktif ?
26. Mengeringkan tubuh bayi nulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks. Ganti handuk basah dengan handuk/kain yang kering. Membiarkan bayi atas perut ibu.
27. Memeriksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus.
28. Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitasin agar uterus berkontraksi baik.
29. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikan oksitosin 10 unit IM (intramaskuler) di 1/3 paha atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).
30. Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm distal dari klem pertama.
31. Dengan satu tangan. Pegang tali pusat yang telah dijepit (lindungi perut bayi), dan lakukan pengguntingan tali pusat diantara 2 klem tersebut.
32. Mengikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan mengikatnya dengan simpul kunci pada sisi lainnya.
33. Menyelimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan memasang topi di kepala bayi.
34. Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 -10 cm dari vulva
35. Meletakan satu tangan diatas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain menegangkan tali pusat.
36. Setelah uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati kearah doroskrainal. Jika plasenta tidak lahir setelah 30 – 40 detik, hentikan penegangan tali pusat dan menunggu hingga timbul kontraksi berikutnya dan mengulangi prosedur.
37. melakukan penegangan dan dorongan dorsokranial hingga plasenta terlepas, minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian kearah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-kranial).
38. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan), pegang plasenta dengan kedua tangan dan lakukan putaran searah untuk membantu pengeluaran plasenta dan mencegah robeknya selaput ketuban.
39. Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan menggosok fundus uteri secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)
40. Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput ketuban sudah lahir lengkap, dan masukan kedalam kantong plastik yang tersedia.
41. Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Melakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan.
42. Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervaginam.
43. Membiarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu paling sedikit 1 jam.
44. Setelah satu jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi, beri tetes mata antibiotik profilaksis, dan vitamin K1 1 mg intramaskuler di paha kiri anterolateral.
45. Setelah satu jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan imunisasi Hepatitis B di paha kanan anterolateral.
46. Melanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah perdarahan pervaginam.
47. Mengajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi.
48. Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
49. Memeriksakan nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama jam kedua pasca persalinan.
50. Memeriksa kembali bayi untuk memastikan bahwa bayi bernafas dengan baik.
51. Menempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah di dekontaminasi.
52. Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
53. Membersihkan ibu dengan menggunakan air DDT. Membersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu ibu memakai memakai pakaian bersih dan kering.
54. Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk membantu apabila ibu ingin minum.
55. Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%.
56. Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5% melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%
57. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
58. Melengkapi partograf.
Filed under: kuliahbidan, Persalinan, Persalinan Normal | 7 Comments »
Ini jauh lebih membantu latihan persalinan daripada hanya membaca dari buku atau kuliah sebelum mencoba pertama kalinya langsung kepada pasien. Setiap kali seorang mahasiswa berlatih, mahasiswa lainnya ikut berkerumum di sekelilingnya untuk mengamati aman tidaknya persalinan dengan melihat perubahan pada sensor-sensornya.
Filed under: kuliahbidan | 4 Comments »
Tingginya kasus kesakitan dan kematian ibu di banyak negara berkembang, terutama disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan, eklampsia, sepsis dan komplikasi keguguran. Sebagian besar penyebab utama kesakitan dan kematian ibu tersebut sebenarnya dapat dicegah. Melalui upaya pencegahan yang efektif, beberapa negara berkembang dan hampir semua negara maju, berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu ke tingkat yang sangat rendah.
Asuhan Kesehatan Ibu selama dua dasawarsa terakhir terfokus pada:
a) Keluarga Berencana untuk membantu para ibu dan suaminya merencanakan kehamilan yang diinginkan
b) Asuhan Antenatal Terfokus untuk memantau perkembangan kehamilan, mengenali gejala dan tanda bahaya, menyiapkan persalinan dan kesediaan menghadapi komplikasi
c) Asuhan Pascakeguguran untuk menatalaksana gawat-darurat keguguran dan komplikasinya serta tanggap terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.
d) Persalinan yang Bersih dan Aman serta Pencegahan Komplikasi
Kajian dan bukti ilmiah menunjukkan bahwa asuhan persalinan bersih, aman dan tepat waktu merupakan salah satu upaya efektif untuk mencegah terjadinya kesakitan dan kematian
e) Penatalaksanaan Komplikasi yang terjadi sebelum, selama dan setelah persalinan.
Dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian ibu, perlu diantisipasi adanya keterbatasan kemampuan untuk menatalaksana komplikasi pada jenjang pelayanan tertentu. Kompetensi petugas, pengenalan jenis komplikasi, dan ketersediaan sarana pertolongan menjadi penentu bagi keberhasilan penatalaksanaan komplikasi yang umumnya akan selalu berbeda menurut derajat, keadaan dan tempat terjadinya
Pergeseran Paradigma
Fokus asuhan persalinan normal adalah persalinan bersih dan aman serta mencegah terjadinya komplikasi. Hal ini merupakan pergeseran paradigma dari menunggu terjadinya dan kemudian menangani komplikasi, menjadi pencegahan komplikasi. Persalinan bersih dan aman serta pencegahan komplikasi selama dan pascapersalinan terbukti mampu mengurangi kesakitan atau kematian ibu dan bayi baru lahir.
Beberapa contoh dibawah ini, menunjukkan adanya pergeseran paradigma tersebut diatas:
· Mencegah Perdarahan Pascapersalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri
Upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan dimulai pada tahap yang paling dini. Setiap pertolongan persalinan harus menerapkan upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan, diantaranya manipulasi minimal proses persalinan, penatalaksanaan aktif kala III, pengamatan melekat kontraksi uterus pascapersalinan. Upaya rujukan obstetrik dimulai dari pengenalan dini terhadap persalinan patologis dan dilakukan saat ibu masih dalam kondisi yang optimal.
· Laserasi/episiotomi
Dengan paradigma pencegahan, episiotomi tidak lagi dilakukan secara rutin karena dengan perasat khusus, penolong persalinan akan mengatur ekspulsi kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi atau hanya terjadi robekan minimal pada perineum.
· Retensio plasenta
Penatalaksanaan aktif kala tiga dilakukan untuk mencegah perdarahan, mempercepat proses separasi dan melahirkan plasenta dengan pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir dan melakukan penegangan tali pusat terkendali.
· Partus Lama
Untuk mencegah partus lama, asuhan persalinan normal mengandalkan penggunaan partograf untuk memantau kondisi ibu dan janin serta kemajuan proses persalinan. Dukungan suami atau kerabat, diharapkan dapat memberikan rasa tenang dan aman selama proses persalinan berlangsung. Pendampingan ini diharapkan dapat mendukung kelancaran proses persalinan, menjalin kebersamaan, berbagi tanggung jawab diantara penolong dan keluarga klien.
· Asfiksia Bayi Baru Lahir
Pencegahan asfiksia pada bayi baru lahir dilakukan melalui upaya pengenalan/penanganan sedini mungkin, misalnya dengan memantau secara baik dan teratur denyut jantung bayi selama proses persalinan, mengatur posisi tubuh untuk memberi rasa nyaman bagi ibu dan mencegah gangguan sirkulasi utero-plasenter terhadap bayi, teknik meneran dan bernapas yang menguntungkan bagi ibu dan bayi. Bila terjadi asfiksia, dilakukan upaya untuk menjaga agar tubuh bayi tetap hangat, menempatkan bayi dalam posisi yang tepat, penghisapan lendir secara benar, memberikan rangsangan taktil dan melakukan pernapasan buatan (bila perlu). Berbagai upaya tersebut dilakukan untuk mencegah asfiksia, memberikan pertolongan secara tepat dan adekuat bila terjadi asfiksia dan mencegah hipotermia.
Paradigma baru (aktif) yang disebutkan sebelumnya, terbukti dapat mencegah atau mengurangi komplikasi yang sering terjadi. Hal ini memberi manfaat yang nyata dan mampu membantu upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Karena sebagian besar persalinan di Indonesia terjadi di desa atau di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dimana tingkat keterampilan petugas dan sarana kesehatan sangat terbatas maka paradigma aktif menjadi sangat strategis bila dapat diterapkan pada tingkat tersebut. Jika semua penolong persalinan dilatih agar kompeten untuk melakukan upaya pencegahan atau deteksi dini secara aktif terhadap berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, memberikan pertolongan secara adekuat dan tepat waktu, dan melakukan upaya rujukan segera dimana ibu masih dalam kondisi yang optimal maka semua upaya tersebut dapat secara bermakna menurunkan jumlah kesakitan atau kematian ibu dan bayi baru lahir.
Pelatihan Asuhan Persalinan Normal
Kajian kinerja petugas pelaksana pertolongan persalinan di jenjang pelayanan dasar yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, bekerjasama dengan Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR) dengan bantuan teknis dari JHPIEGO dan PRIME menunjukkan adanya kesenjangan kinerja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan bagi ibu hamil dan bersalin. Temuan ini berlanjut menjadi kerjasama untuk merancang pelatihan klinik yang diharapkan mampu untuk memperbaiki kinerja penolong persalinan. Dasar pelatihan klinik asuhan persalinan normal ini adalah asuhan yang bersih dan aman dari setiap tahapan persalinan dan upaya pencegahan komplikasi terutama perdarahan pascapersalinan dan hipotermia serta asfiksia bayi baru lahir.
Asuhan Persalinan Normal
Tujuan asuhan persalinan normal adalah menjaga kelangsungan hidup dan memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui upaya yang terintegrasi dan lengkap tetapi dengan intervensi yang seminimal mungkin agar prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang diinginkan (optimal). Dengan pendekatan seperti ini, berarti bahwa:
Setiap intervensi yang akan diaplikasikan dalam asuhan persalinan normal harus mempunyai alasan dan bukti ilmiah yang kuat tentang manfaat intervensi tersebut bagi kemajuan dan keberhasilan proses persalinan
Keterampilan yang diajarkan dalam pelatihan asuhan persalinan normal harus diterapkan sesuai dengan standar asuhan bagi semua ibu bersalin di setiap tahapan persalinan oleh setiap penolong persalinan dimanapun hal tersebut terjadi. Persalinan dan kelahiran bayi dapat terjadi di rumah, puskesmas atau rumah sakit. Penolong persalinan mungkin saja seorang bidan, perawat, dokter umum atau spesialis obstetri. Jenis asuhan yang akan diberikan, dapat disesuaikan dengan kondisi dan tempat persalinan sepanjang dapat memenuhi kebutuhan spesifik ibu dan bayi baru lahir.
Praktik-praktik pencegahan yang akan dijelaskan dalam buku acuan ini adalah:
a. Secara konsisten dan sistematis menggunakan praktik pencegahan infeksi seperti cuci tangan, penggunaan sarung tangan, menjaga sanitasi lingkungan yang sesuai bagi proses persalinan, kebutuhan bayi dan proses ulang peralatan bekas pakai.
b. Memberikan asuhan yang diperlukan, memantau kemajuan dan menolong proses persalinan serta kelahiran bayi. Menggunakan partograf untuk membuat keputusan klinik, sebagai upaya pengenalan adanya gangguan proses persalinan atau komplikasi dini agar dapat memberikan tindakan yang paling tepat dan memadai.
c. Memberikan asuhan sayang ibu di setiap tahapan persalinan, kelahiran bayi dan masa nifas, termasuk memberikan penjelasan bagi ibu dan keluarganya tentang proses persalinan dan kelahiran bayi serta menganjurkan suami atau anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam proses persalinan dan kelahiran bayi.
d. Merencanakan persiapan dan melakukan rujukan tepat waktu dan optimal bagi ibu di setiap tahapan persalinan dan tahapan waktu bayi baru lahir.
e. Menghindarkan berbagai tindakan yang tidak perlu dan/atau berbahaya seperti misalnya kateterisasi urin atau episiotomi secara rutin, amniotomi sebelum terjadi pembukaan lengkap, meminta ibu meneran secara terus-menerus, penghisapan lendir secara rutin pada bayi baru lahir.
f. Melaksanakan penatalaksanaan aktif kala tiga untuk mencegah perdarahan pascapersalinan.
g. Memberikan asuhan segera pada bayi baru lahir termasuk mengeringkan dan menghangatkan bayi, pemberian ASI sedini mungkin dan eksklusif, mengenali tanda-tanda komplikasi dan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai untuk menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir.
h. Memberikan asuhan dan pemantauan pada masa awal nifas untuk memastikan kesehatan, keamanan dan kenyamana ibu dan bayi baru lahir, mengenali secara dini gejala dan tanda bahaya atau komplikasi pascapersalinan/bayi baru lahir dan mengambil tindakan yang sesuai.
i. Mengajarkan pada ibu dan keluarganya untuk mengenali gejala dan tanda bahaya pada masa nifas pada ibu dan bayi baru lahir
j. Mendokumentasikan semua asuhan yang telah diberikan.
Pada akhir pelatihan, peserta latih harus menguasai pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan sehingga mampu untuk memberikan asuhan persalinan yang aman dan bersih serta mencegah terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir, baik di setiap tahapan persalinan, kelahiran bayi maupun pada awal masa nifas. Peserta latih adalah petugas kesehatan yang akan menjadi pelaksana pertolongan persalinan, juga harus mampu untuk mengenali (sejak dini) setiap komplikasi yang mungkin terjadi dan mengambil tindakan yang diperlukan dan sesuai dengan standar yang diinginkan. Praktik terbaik asuhan persalinan normal terbukti mampu mencegah terjadinya berbagai penyulit atau komplikasi yang dapat mengancam keselamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir sehingga upaya perbaikan status kesehatan dan kualitas hidup kelompok rentan risiko ini dapat diwujudkan.
UNTUK LEBIH JELASKAN SILAHKAN DOWNLOAD MATERI BERIKUT
3. BAB I, BAB 2, BAB3, BAB4, BAB5, BAB6, DAN BAB6B
Filed under: ASI, ASKEP, asuhan kebidanan, asuhan keperawatan, Bayi dan Anak, Fisiologi, Ilmu kebidanan, Kebidanan, Kuliah, kuliahbidan, Persalinan, Persalinan Normal | 16 Comments »
Setelah hampir enam bulan kuliahbidan online dan sangat dibutuhkannya eksistensi kuliahbidan di jagat maya, maka kami mengundang kepada netter (pengunjung) untuk memberikan kontribusi tulisan di kuliahbidan, dengan tujuan satu bahwa kuliahbidan ditujukan untuk meningkatkan profesionalis bidan serta untuk mencari materi kebidanan, untuk itu bagi para penulis yang ingin bergabung kirim email anda ke erlina.mustika@gmail.com subject: Konstribusi artikel / penulis, nanti artikel anda akan kami muat dengan menyebutkan penulis
biodata penulis: Nama: Pendidikan: pekerjaan: alamat:
sebelumnya kami ucapkan terimakasih
erlina.
Nb. bagi Penulis yang mengirimkan lebih dari 10 artikel akan mendapatkan nametag kuliahbidan
Filed under: kuliahbidan | 3 Comments »
Di antara banyak pertanyaan etis terkait dengan pencangkokan organ seperti yang sedang hangat – hangat saat ini, ada penekanan yang berbeda di antara komunitas yang berbeda-beda dari sisi sosial-ekonomi maupun keagamaan. Di AS, misalnya, isu-isu utama yang dibahas terutama berkisar pada kelompok pertanyaan kedua, mengenai perolehan dan distribusi organ. Di negara berkembang, sementara penggunaan teknologi ini jauh di belakang negara maju, banyak isu muncul terkait dengan organ trafficking , sementara distribusi organ tak menjadi isu.
Pada bagian ini akan dibahas satu contoh respon terhadap pencangkokan organ dari para pemikir Muslim. Terkait dengan karakter agama Islam maupun konteks sosial Muslim, tak mengherankan jika tak semua pertanyaan di atas tidak mendapatkan penekanan yang sama. Secara umum, kelompok-kelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan cukup mendasar pada persoalan boleh tidaknya—dari sudut pandang nilai-nilai keagamaan—melakukan pencangkokan organ.
Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/ jurisprudensi). Dan persoalan utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram , meskipun tidak selalu demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Qur’an dan hadis) maupun kitab-kitab hukum fikih.
Dari segi metodologi, untuk menjawab masalah-masalah kontemporer ulama mencari kasus-kasus yang dibahas dalam kitab-kitab lama itu, atau kasus-kasus yang analog dengannya. Pengambilan keputusan seperti ini dibimbing oleh seperangkat prinsip umum, yang disebut usul fikih (prinsip-prinsip fikih). Di antaranya, ada prinsip pertimbangan manfaat dan mudarat (keburukan) dari suatu keputusan; prinsip mendahulukan menghindari keburukan; prinsip bahwa manfaat yang amat besar dapat mengatasi keburukan-keburukan inheren yang lebih kecil; prinsip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tak diperbolehkan, tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan); prinsip maslahah atau kesejahteraan publik; dan sebagainya.
Dalam hal pencangkokan organ, keputusan-keputusan legal-etis bisa dicari dengan melihat bagaimana kitab-kitab klasik itu memandang penggunaan bagian-bagian tubuh manusia untuk tujuan penyembuhan. Kadang-kadang, seperti akan ditunjukkan contohnya di bawah, upaya ini dilakukan dengan tak memperhatikan konteksnya dengan baik, tapi hanya melihat kasus dimana organ tubuh manusia diperlakukan meski dalam konteks yang amat jauh berbeda dengan konteks pencangkokan. Meskipun pendekatan ahistoris semacam ini telah sering dikritik, tapi masih juga kerap digunakan.
Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak hanya satu, tapi beragam, dan satu dengan lainnya bahkan terkadang saling bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang identik. Di sini akan disampaikan beberapa pandangan yang cukup populer mengenai isu ini.
Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:
1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat: “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”
2. Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya pada orang lain.
3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.
Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar, sebagai berikut
1. Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan: Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya); penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )
2. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu manusia lain, khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan. Sekali lagi, untuk ini pun ada beberapa syarat:
¨ Ada persetujuan dari donor;
¨ Nyawa donor tak terancam dengan pengambilan organ dari tubuhnya;
¨ Pencangkokan yang akan dilakukan berpeluang berhasil amat tinggi.
¨ organ tak diperoleh melalui transaksi jual-beli,
Ada satu implikasi yang menarik dari sini. Jika syarat ini dikombinasikan dengan kebolehan (dan dalam kasus tertentu kewajiban) melakukan pencangkokan organ, maka mendonorkan organ bagi Muslim hukumnya adalah wajib-sosial ( fardh kifayah ), yaitu, dalam suatu komunitas Muslim, adalah kewajiban bagi salah seorang Muslim untuk mendonorkan organnya jika ada orang lain yang membutuhkan! (Sekali lagi, tentu dengan memenuhi pembatasan-pembatasan di atas.)
Belakangan ini, di antara lembaga-lembaga pemberi fatwa di dunia Muslim, pandangan yang dominan adalah pandangan yang mendukung bolehnya pencangkokan organ. Di antara lembaga semacam itu yang mendukung pencangkokan organ adalah Akademi Fikih Islam (lembaga di bawah Liga Muslim Se-Dunia, yang berpusat di Arab Saudi) pada fatwa-fatwanya pada tahun 1985 dan 1988; Akademi Fikih Islam India (1989); dan Dar al-Ifta’ (lembaga otonom semcam MUI, di bawah Departemen Agama, Mesir, yang biasanya diketuai oleh ulama dari Universitas al-Azhar). Pencangkokan yang diperbolehkan mencakup autotransplantasi, allotransplantasi, dan juga heterotransplantasi—dalam urutan keterdesakan (situasi darurat) yang lebih tinggi. Meski demikian, diperbolehkannya pencangkokan organ ini selalu diikuti syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.
Kasus pencangkokan organ ini termasuk kasus yang agak langka, dimana ada konsensus yang cukup luas. Meski demikian, ada dua catatan lain yang perlu diberikan. Pertama , di samping konsensus umum itu, ada beberapa variasi mengenai beberapa hal yang lebih terinci dan mengenai tingkat keterdesakan (yang paling tinggi menyatakan bahwa prosedur ini boleh dilakukan hanya dalam kondisi dimana nyawa seseorang benar-benar terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau dipertahankan tetap hidup). Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan bahwa pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan nyawa donor—artinya, donor ginjal diperbolehkan, sementara jantung tidak.
Kedua, perlu dicatat bahwa tetap saja ada fatwa-fatwa yang berbeda, meski tak sepopuler fatwa-fatwa di atas.Yang cukup terkenal di antara penentang pencangkokan organ adalah mazhab Deoband di Pakistan (dengan ulamanya yang terkenal cukup konservatif, Mufti Muhammad Syafi’).
Dalam pandangan yang lebih moderat/liberal, keberatan ulama konservatif itu tak terlalu sulit dijawab. Keberatan utama mereka terkait dengan status tubuh manusia: bahwa tubuh adalah suci dan tak boleh dihinakan; dan bahwa tubuh bukanlah milik manusia (lihat tiga alasan yang dibahas di atas). Mengenai yang pertama, argumen yang diambil dari hadis mengenai larangan mematahkan tulang dapat segera ditolak setelah kita melihat konteks ucapan Nabi Muhammad itu. Konteksnya adalah peristiwa di mana seorang penggali kubur yang kasar mematahkan tulang mayat karena kuburan yang sudah digali ternyata terlalu sempit. Ini jelas perbuatan yang tak menghormati mayat. Sementara dalam pencangkokan organ, ada tujuan yang jelas, dan tujuan itu amat mulia. Demikian pula, mengambil organ dengan alasan mulia yang jelas bukanlah tindakan yang melanggar amanah, tapi justru upaya memenuhi perintah lain Tuhan untuk menyelamatkan hidup sesama manusia.
Tiga catatan kritis atas wacana fikih yang dominan:
Pembahasan terakhir membawa kita ke persoalan yang lebih jauh mengenai apa yang disebut oleh Moosa (2002) sebagai “kosmologi tubuh”. Moosa menganalisis bahwa perbedaan-perbedaan fatwa tersebut bersumber dari pandangan mengenai tubuh yang berbeda. Kosmologi tubuh konservatif nyaris menutup hak manusia untuk memperlakukan tubuhnya sendiri untuk tujuan apapun. Ujung-ujungnya adalah pandangan mengenai takdir yang deterministik. Dalam konteks lain, kosmologi tubuh ini juga mempengaruhi, misalnya, pandangan negatif terhadap perempuan, karena, di antaranya, darah menstruasi dipandang sebagai sesuatu yang najis. Padahal, darah menstruasi dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai peristiwa biologis/alamiah sepenuhnya, tanpa perlu diberi signifikansi spiritual. Dalam kasus yang kedua ini lebih tampak jelas adanya inkoherensi antara pandangan konservatif atas tubuh dengan pandangan mengenai tubuh yang disampaikan sains. Inilah yang dikeluhkan oleh Moosa: tak adanya koherensi epistemik antara fikih dengan sains di masa ini, sementara di masa yang lebih awal, pemahaman fikih selalu dilandasi oleh pemahaman ilmiah yang up to date .
Ditarik lebih jauh, jika kosmologi tubuh modern diterima, maka mungkin tak perlu ada pembedaan sama sekali antara organ yang diperoleh dari manusia hidup, manusia mati, atau bahkan dari binatang, kecuali pembedaan yang sifatnya biologis semata. Demikian pula, pembedaan antara tubuh Muslim dengan non-muslim juga menjadi sesuatu yang tak relevan.
Sebagai catatan terakhir, bisa kita lihat bahwa di antara tiga kelompok persoalan etis menyangkut pencangkokan organ (yang dibahas pada bagian I di atas), fikih Islam terlalu condong pada kelompok pertama, mengenai kebolehan prosedur ini dari sudut pandang pemahaman keagamaan yang kurang luas. Kelompok masalah etis kedua (perolehan dan distribusi organ) hanya sedikit tersentuh, itu pun sejauh ada hubungannya dengan kelompok masalah pertama. Benar bahwa, seperti diungkapkan di atas, kelompok masalah kedua memang terasa jauh lebih urgen di tempat-tempat dimana pencangkokan organ menjadi prosedur yang amat sering dilakukan, seperti di AS. Meski demikian, jenis-jenis pencangkokan organ tertentu, khususnya ginjal, sudah cukup lazim pula dilakukan dalam komunitas Muslim; namun persoalan etika perolehan dan distribusi organ belum cukup mendapat perhatian.
Demikian pula, ketakbolehan memperjualbelikan organ diajukan semata-mata dengan alasan bahwa tubuh seseorang bukan miliknya sendiri. Di luar alasan teologis itu, sebenarnya ada alasan sosial-ekonomis yang pada saat ini terasa jauh lebih mendesak menyangkut terjadinya organ trafficking yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Yang nyaris absen dari literatur Islam adalah pembahasan mengenai isu keadilan distributif. Memandang bahwa keadilan adalah salah satu nilai etis terpenting Islam, nyaris tak adanya pembahasan ini tentu patut disesalkan. Perhatian yang lebih serius pada aspek keadilan sosial-ekonomi kiranya akan mengubah wacana pemfatwaan masalah pencangkokan organ.
Situasi ini terjadi kemungkinan besar karena secara umum tradisi etika dalam Islam kontemporer tak cukup berkembang, terdominasi oleh wacana fikih yang mau tak mau lebih berkutat pada persoalan-persoalan legal mengenai halal-haram secara intrinsik. Di sisi lain, jika dalam kasus pelarangan jual beli organ yang muncul terutama adalah alasan teologis, ini karena pembuat fatwa pada masa kini pun terlalu terpaku pada wacana di masa yang lebih awal dan kurang memberikan perhatian pada konteks sosial-ekonomi saat ini. Upaya-upaya me(re-) konstruksi suatu sistem etika Islam telah dilakukan, namun kita belum melihat munculnya ragam mazhab-mazhab etika yang cukup kuat untuk mendukung perdebatan etis mengenai masalah-masalah kontemporer. Ini adalah suatu kelemahan yang banyak dikeluhkan pemikir Muslim, dan sedang diperbaiki, namun kiranya masih membutuhkan waktu yang cukup lama.
Filed under: kuliahbidan, Matakuliah | Leave a comment »